Budaya Sebagai Dasar Branding Sebuah Kota
Oleh: Dhani Susilowati
Bagus Sandi Tratama dalam opininya yang
berjudul City Branding Kota Kretek
(Tibun Jateng, 23 September 2016)
melampirkan gagasannya perihal branding sebuah kota. Dalam hal ini, Kudus
menjadi sorotan utamanya. Dengan bangga Kudus mendeklarasikan ‘Kota Kretek’
sebagai kekhasan Kabupaten Kudus.
Memang, dengan branding tersebut,
masyarakat Kabupaten Kudus tidak perlu
mengeluarkan tenaga dan biaya lebih mahal untuk mempublikasikan kota.
Akan tetapi, bertumpu pada industri
rokok kretek pastilah akan menuai berbagai kontra di dunia, khususnya di
Indonesia. Bagaimana mungkin, di tengah kampanye besar-besaran dalam upaya
penolakan rokok di Indonesia, Kabupaten Kudus malah mendeklarasikan dan
mendukung penuh industri rokok sebagai jantung kota.
Secara finansial, industri rokok kretek
mampu mendanai berbagai kegiatan sosial, seperti pendidikan, olahraga,
kesehatan dan infrastuktur kota. Namun, pada kenyataannya dana yang diperoleh dari industri rokok kretek harus
mengorbankan nyawa orang banyak. Tak sedikit, penyumbang kematian di Indonesia
adalah rokok. Dengan begitu, berarti dana tersebut diperoleh dengan cara
membunuh untuk menghidupi orang lain. Untuk bertahan hidup tidak harus
membunuh, bukan?
Penciptaan branding terkadang memang
sulit, akan tetapi setiap kota pastilah memiliki hal unik yang membedakannya
dari kota lain. Baik dari segi seni maupun budaya. Nah, aspek itulah yang
seyogyanya lebih ditonjolkan untuk selanjutnya dapat dijunjung sebagai mahkota
sebuah kota. Dengan demikian, berbagai tingkatan sosial di kota yang
bersangkutan tidak perlu menimbun potensi dasar yang telah dianugerahkan alam
pada kota tersebut.
Seni akan menjadi sarang estetika bagi
suatu daerah. Sama halnya dengan Kudus. Kota ini pun terkenal dengan seni
arsitektur dalam rumah adat Kudus. Kekhasan produk bordir dan gebyog Kudus pun
dapat dijadikan ikon Kabupaten Kudus. Jika Kudus mampu memanfaatkan seni
sebagai kekhasan daerahnya, maka akan sangat mudah mengenalkan berbagai
destinasi wisata ynag ada di Kabupaten tersebut. Seiring berkembangnya wisata,
berbagai makanan khas dan pernak-pernik yang mencirikan Kudus akan dengan mudah
diminati masyarakat lokal maupun internasional.
Branding sebuah kota yang didasarkan
pada budayanya, dirasa akan membahana daripada bertumpu pada sebuah industri. Menciptakan
wisata baru berdasar industri rokok, dirasa kurang edukatif karena dalam dunia
pendidikan rokok pun ditentang. Bahkan tidak satu pun sekolah di Indonesia yang
memperbolehkan dan memberi kebebasan pada peserta didiknya untuk merokok.
Memang menyangkut ilmu dan pengetahuan itu adalah keperluan utama. Pun perihal berbagai
upaya penelitian, buku, film dan karya sastra lainnya mengenai industri rokok
kretek. Ilmu seyogyanya mampu berperan serta dalam membangun peradaban
masyarakat penganutnya. Nah, dalam hal ini, apakah dengan mendirikan sarana
wisata seperti museum rokok akan memberikan dampak baik bagi masyarakat?
Rokok bukan hanya dipandang sebelah mata
di ranah pendidikan. Pemerintahan di dalam negeri pun berupaya meminimalis
ketergantungan bangsa terhadap rokok. Itu terbukti dengan persetujuan beberapa
tokoh masyarakat, seperti yang dilontarkan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta yang
dengan serius menanggapi isu kenaikan harga rokok. Meskipun wacana tersebut
hanyalah dibuat berdasarkan penelitian Mahasiswa Universitas Indonesia terkait
akan turunnya jumlah perokok apabila harga rokok dinaikkan hingga angka 50 ribu
rupiah. Wacana semacam itu belum secara resmi ditetapkan oleh pemerintah, akan
tetapi sudah banyak masyarakat yang menyetujuinya.
Suatu persetujuan memang tidak serta-merta
tanpa konsekuensi. Sudah jelas, Indonesia belum bisa sepenuhnya terlepas dari
cengkrama industri rokok, karena penduduk Indonesia pun banyak yang mendapatkan
pekerjaan lantaran adanya industri tersebut. Lalu, masalah pengangguran yang
membludak, pastilah menjadi momok paling menakutkan di tanah air. Nah, untuk
mengatasi problema tersebut, tidak mudah memang. Maka pemerintah perlu
menyediakan lowongan pekerjaan di bidang lain agar Indonesia tidak selamanya
bergantung pada industri rokok. Khususnya di Kabupaten Kudus.
Sederet pernyataan tersebut, tentu saja belum
mampu menggeser kubu kontra pada posisi yang nantinya akan menyetujui bahwa industri
rokok dapat dijadikan branding sebuah kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar