Sabtu, 24 September 2016

Tanggapan Opini City Branding Kota Kretek

Budaya Sebagai Dasar Branding Sebuah Kota
Oleh: Dhani Susilowati




Bagus Sandi Tratama dalam opininya yang berjudul City Branding Kota Kretek  (Tibun Jateng, 23 September 2016)  melampirkan gagasannya perihal branding sebuah kota. Dalam hal ini, Kudus menjadi sorotan utamanya. Dengan bangga Kudus mendeklarasikan ‘Kota Kretek’ sebagai kekhasan Kabupaten Kudus.
Memang, dengan branding tersebut, masyarakat Kabupaten Kudus tidak perlu  mengeluarkan tenaga dan biaya lebih mahal untuk mempublikasikan kota. Akan tetapi,  bertumpu pada industri rokok kretek pastilah akan menuai berbagai kontra di dunia, khususnya di Indonesia. Bagaimana mungkin, di tengah kampanye besar-besaran dalam upaya penolakan rokok di Indonesia, Kabupaten Kudus malah mendeklarasikan dan mendukung penuh industri rokok sebagai jantung kota.
Secara finansial, industri rokok kretek mampu mendanai berbagai kegiatan sosial, seperti pendidikan, olahraga, kesehatan dan infrastuktur kota. Namun, pada kenyataannya dana yang  diperoleh dari industri rokok kretek harus mengorbankan nyawa orang banyak. Tak sedikit, penyumbang kematian di Indonesia adalah rokok. Dengan begitu, berarti dana tersebut diperoleh dengan cara membunuh untuk menghidupi orang lain. Untuk bertahan hidup tidak harus membunuh, bukan?
Penciptaan branding terkadang memang sulit, akan tetapi setiap kota pastilah memiliki hal unik yang membedakannya dari kota lain. Baik dari segi seni maupun budaya. Nah, aspek itulah yang seyogyanya lebih ditonjolkan untuk selanjutnya dapat dijunjung sebagai mahkota sebuah kota. Dengan demikian, berbagai tingkatan sosial di kota yang bersangkutan tidak perlu menimbun potensi dasar yang telah dianugerahkan alam pada kota tersebut.
Seni akan menjadi sarang estetika bagi suatu daerah. Sama halnya dengan Kudus. Kota ini pun terkenal dengan seni arsitektur dalam rumah adat Kudus. Kekhasan produk bordir dan gebyog Kudus pun dapat dijadikan ikon Kabupaten Kudus. Jika Kudus mampu memanfaatkan seni sebagai kekhasan daerahnya, maka akan sangat mudah mengenalkan berbagai destinasi wisata ynag ada di Kabupaten tersebut. Seiring berkembangnya wisata, berbagai makanan khas dan pernak-pernik yang mencirikan Kudus akan dengan mudah diminati masyarakat lokal maupun internasional.
Branding sebuah kota yang didasarkan pada budayanya, dirasa akan membahana daripada bertumpu pada sebuah industri. Menciptakan wisata baru berdasar industri rokok, dirasa kurang edukatif karena dalam dunia pendidikan rokok pun ditentang. Bahkan tidak satu pun sekolah di Indonesia yang memperbolehkan dan memberi kebebasan pada peserta didiknya untuk merokok. Memang menyangkut ilmu dan pengetahuan itu adalah keperluan utama. Pun perihal berbagai upaya penelitian, buku, film dan karya sastra lainnya mengenai industri rokok kretek. Ilmu seyogyanya mampu berperan serta dalam membangun peradaban masyarakat penganutnya. Nah, dalam hal ini, apakah dengan mendirikan sarana wisata seperti museum rokok akan memberikan dampak baik bagi masyarakat?
Rokok bukan hanya dipandang sebelah mata di ranah pendidikan. Pemerintahan di dalam negeri pun berupaya meminimalis ketergantungan bangsa terhadap rokok. Itu terbukti dengan persetujuan beberapa tokoh masyarakat, seperti yang dilontarkan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta yang dengan serius menanggapi isu kenaikan harga rokok. Meskipun wacana tersebut hanyalah dibuat berdasarkan penelitian Mahasiswa Universitas Indonesia terkait akan turunnya jumlah perokok apabila harga rokok dinaikkan hingga angka 50 ribu rupiah. Wacana semacam itu belum secara resmi ditetapkan oleh pemerintah, akan tetapi sudah banyak masyarakat yang menyetujuinya.
Suatu persetujuan memang tidak serta-merta tanpa konsekuensi. Sudah jelas, Indonesia belum bisa sepenuhnya terlepas dari cengkrama industri rokok, karena penduduk Indonesia pun banyak yang mendapatkan pekerjaan lantaran adanya industri tersebut. Lalu, masalah pengangguran yang membludak, pastilah menjadi momok paling menakutkan di tanah air. Nah, untuk mengatasi problema tersebut, tidak mudah memang. Maka pemerintah perlu menyediakan lowongan pekerjaan di bidang lain agar Indonesia tidak selamanya bergantung pada industri rokok. Khususnya di Kabupaten Kudus.

 Sederet pernyataan tersebut, tentu saja belum mampu menggeser kubu kontra pada posisi yang nantinya akan menyetujui bahwa industri rokok dapat dijadikan branding sebuah kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar