Selasa, 06 September 2016

Cerpen Wanita Pemilik Rambut Bersarang Hantu



Wanita Pemilik Rambut Bersarang Hantu
Oleh: Dhani Susilowati

            Aku mengingatnya lagi. Wanita yang bersarang hantu di setiap helai rambutnya. Ya, aku pernah mendekap erat tubuhnya di sebuah ranjang yang bertabur bunga. Senyum timbul di antara bibir merahnya yang lembab. Aku tak menciptakan noktah yang merusak kesuciannya. Meski hubungan kita halal lantaran akad pagi tadi. Gelap menenggelamkan sorot matanya. Aku hanya mendekapnya semakin erat hingga kami terlelap.
            Istriku masih sangat muda waktu itu. Pipinya sering kali kemerahan ketika hawa dingin mulai bergesel dengan kulit cokelatnya. Terlebih saat aku menuturkan namanya, Nike. Dia memang gadis desa yang kerap bersentuhan dengan sayur-mayur hasil tanah Dieng. Namun setelah menikah, dia tak lagi membantu ayah dan ibunya bertani.  Kami pindah di kota kelahiranku, Semarang. Ibuku telah menyediakan rumah tepat di samping rumahnya.
            ***
Aku mendekap potret kita. Kala itu kau terlihat anggun dengan kebaya putih dan aku tampak gagah dengan kemeja yang serasi dengan warna kebayamu. Aku masih mendengus semerbak bunga yang mengisi seluruh ruang. Memori itu menyeruak menembus dinding pembatas kenangan dalam benakku.
Sebelum menikah denganku, dia gadis kecil yang amat malang. Wajahnya kumal, rambutnya gimbal hingga tak bisa disisir oleh ibunya. Upacara ruwat acap kali ingin dilakukan, namun lagi-lagi istriku tak membuat permintaan yang masuk akal.
“Aku mau menikah dengan Mas Darma, Bu!” pinta gadis kecil berumur dua belas tahun. Ini mustahil. Bahkan aku hanya sekali berpapasan dengannya di Telaga Warna ketika diajak Nenek dan Paman Aji berlibur. Lagipula umurku baru tiga belas kala itu.
            Rambut gimbalnya dibiarkan tumbuh tanpa pernah dicukur barang sehelai. Rieke hanya menutup mahkotanya dengan sehelai kain. Rambutnya tertutup, begitupun dengan kepribadiannya. Ia sangat tertutup dan keras kepala. Hampir tak ada yang mau berteman dengan gadis aneh berbau mistis itu. Namun Nike tak pernah sepi, dia mempunyai banyak teman dalam dunianya sendiri. Teman-temannya itu memiliki ruang khusus di setiap helai rambut gimbalnya.
            Dua bocah kecil berkepala botak meminta Nike untuk mengejarnya. Ia sangat bingung, bocah pucat itu kadang-kadang menghilang terlampau cepat dari pandangan mata. Lalu tampak kembali, tawanya terbahak. Tempo hari, wanita cantik paruh baya meminta untuk mendengarkan senandungnya. Rambutnya hitam tergerai. Mereka duduk di dahan pohon belakang rumah Nike. Ayahnya hingga kehabisan cara untuk mencari. Ibunya pucat pasi khawatir kalau-kalau dedemit keparat itu membawa puterinya pergi.
            Setelah orang tuanya mengabaikan permintaannya untuk menikah, Nike sakit keras selama dua tahun. Sekujur tubuhnya panas ketika malam ataupun siang. Gimbal di rambutnya semakin menjadi. Resep dokter tak mampu memulihkan keadaannya. Orang tuanya tak kehabisan akal. Mereka mendatangi rumah orang pintar yang biasa disebut dukun di dataran tinggi Dieng.
“Anakmu bisa saja sembuh,” katanya sambil komat-kamit membaca mantra.
“Lantas bagaimana carannya, Mbah?” tannya ayah Nike penuh harap.
“Nikahkan anakmu!”
Atas resep dari dukun setempat, orang tuanya mengiyakan permintaannya.
            Istriku menjelma layaknya wanita yang bermahkota baru, sejak upacara ruwat dilangsungkan bersamaan di hari akad nikah kami. Prosesi sakral itu dilaksanakan di Batu Tulis yang terletak di antara Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Sesaji yang tertata rapi. Musik gamelan klasik yang membuatku bergidik. Aroma kemenyan yang menyeruak. Helaian panjang yang menjadi sarang setan itu, dicukur perlahan. Aku sempat melirik wanita itu. Memerah pipinya, buih-buih bening menyelinap dari penjara matanya.
            ***
            Pagi itu, mentari sudah mulai silau jika kupandang dari jendela kaca. Aku tergesa menyiapkan kemeja yang hendak kukenakan untuk sidang skripsiku. Senyum khas istriku kembali menyelinap di antara jiwa yang tergesa.
            “Wah suamiku sudah mandi, lihatlah kulitnya putih sekali.” Dia memuji. Aku diam saja, justru aku ingin enyah dari pandangannya.
            “Sayang ini kemejanya, pakailah. Sini biar kubantu kau mengenakan dasinya!” dia selalu memperlakukan aku layaknya raja.
Jika bukan permintaan terakhir nenek, mungkin aku tak akan nikah muda. Itulah mengapa aku acuh pada istriku. Lagipula dia yang mengandaskan kisah asmaraku dengan Vega, kekasihku. Sejak tahu aku sudah menikah, Vega menghilang entah kemana. Bahkan tak ada kata-kata tanda berakhirnya hubungan kami.
Vega yang selalu terlihat molek ketika mengibaskan rambutnya. Paras ayu yang siap menggoda setiap pria. Entah pria berkacamata yang rajin membaca di perpustakaan kampus ataupun mahasiswa yang terkenal brutal sekalipun. Ya, aku pernah menjadi kekasihnya, mungkin masih menjadi kekasihnya hingga saat ini.
            Itulah, hingga aku semakin membenci wanita yang selalu menyiapkan sarapan untukku. Kadang aku mencari alasan untuk sekadar tak mau makan masakannya. Kerap kali aku berdalih pulang malam untuk mengerjakan tugas agar tak melihat wajahnya, padahal aku hanya mondar-mandir di kampus saja. Aku tahu pasti wanita itu menunggu sambil menyiapkan makan malam untukku, tapi sering kali aku langsung mandi dan tak sedikitpun melirik menu yang telah tersaji.
            Di hari ulang tahunku yang ke-22, aku sengaja tak pulang. Sedari tadi aku menunggu Vega di kedai kopi, tempat aku menyatakan perasaanku kepadanya. Tentu setelah aku menerima balasan atas pesan yang ku kirimkan tempo hari. Hingga larut, kekasihku tak kunjunng menghampiriku. Kuputuskan tetap menunggu sambil menikmati gemerlap lampu bar. Aku enggan pulang, bertemu wanita itu hanya membuat api di dadaku tersulut berkobar.
            Dering ponselku membuyarkan lamunan. Kuraih cepat. Aku kira kekasihku, tapi lagi-lagi nama wanita itu, wanita yang masih tak ingin kusebut istri, tertera di layar ponsel pintar.
            Sayang, tak ingatkah hari apa ini?
            Mengapa kau tak pulang hingga larut begini? Sayang apa kau baik-baik saja?
            Suamiku, aku menunggumu.
            Mas Darma, kau di mana? Biar aku menyusulmu.
Kepalaku serasa terbelah dua membaca pesan singkat itu. Kuputuskan untuk mengabaikannya. Lalu kedapatan ada pesan masuk dari nomor yang berbeda.
Aku tak bisa datang malam ini.
Sial! Darahku serasa menembus dinding vena yang membendungnya. Kemudian aku menonaktifkan ponsel dengan paksa. Lalu menunggu hingga jam digital yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukan pukul tiga pagi. Bukan apa-apa, aku hanya tak mau bertemu dengan wanita itu.
            Sayangnya aku salah. Ternyata waktu tidak mampu melelapkannya. Ketika kubuka pintu, ia lekas menubrukku. Pelukan hangat yang selama ini selalu kuhindari. Dia mencemaskanku terlihat jelas dari sorot matanya.  Aku masih menatapnya kali ini, tatapan yang selalu ku usir pergi. Wanita itu merawat tubuhku, memapah dan membaringkan badan besarku di ranjang. Kali ini aku membiarkan tangan yang biasanya tak pernah kuizinkan untuk menyentuh setiap sisi dari jiwaku. Aku menatap nanar, yang aku lihat hanya gelap sepekat kopi hitam. Kami terlelap hingga cerah menerobos celah jendela kamar kami.
            ***
Aku terjebak dalam ruang yang kuciptakan sendiri. Puing-puing kenangan yang masih tersisa di benakku sulit tersapu oleh waktu. Senyumnya. Lesung di pipinya. Benar-benar masih terpatri di kepala. Pernah satu pagi aura di hatinya benar terlihat nyata. Sangat berbeda. Istriku bergumam menadakan sebuah lagu tanpa membuka bibirnya. Entah kenapa aku bahagia pula pagi itu. Tak lagi memasang wajah malaikat Malik pada istriku. Malah sering aku menarik bibirku dan menciptakan senyum setiap melirik ke arahnya.
            “Kenapa kau tampak sangat bahagia?” tanyaku.
            “Tidak Mas, aku hanya senang dengan musik ini.” Dia masih saja tersenyum, kali ini sambil memaut perut dengan tangannya.
            “Apa kau hamil?” tebakku mulai curiga dengan gelagatnya. Kini kembali kupasang wajah seperti biasanya. Kaku. Dia terdiam sejenak, lalu kembali melontarkan kata.
            “Belum Mas, tapi aku masih berharap bisa mengecup bibir malaikat kecilku dan menidurkannya suatu saat nanti.”
            “Jangan bermimpi,” tukasku sembari berlalu.
            ***
            Sidang skripsiku usai dengan penolakan yang sarkastik dari seorang dosen. Tubuhku terkulai lemas. Hampir saja aku kehabisan napas. Saraf-saraf yang menyatu padu di otakku serasa terhempas. Aku keluar dari ruang jahanam itu dengan senyum getir yang kupaksakan di bibir gerauku.
            Kembali timbul wajah istriku, seperti gelap yang menyelimuti hari. Aku melihatnya membiarkan air mata itu terhambur dari jeruji yang ia pasang sendiri.
“Kenapa kau? Tak usah mengharap belas kasihku!”
Dia menimpali dengan senyum khasnya, “Aku tidak apa-apa, Mas. Bukan belas kasihan yang aku harap tapi cinta tulus darimu yang selalu aku nantikan sejak tiga tahun pernikahan kita.”
 “Aku memang punya cinta yang sangat tulus tapi bukan untukmu, jangan mimpi,” sahutku dengan nada yang sengaja aku tinggikan.
            Bahkan aku sudah memikirkan cara menceraikan wanita itu sejak hari mulai terang hingga malam menjelang. Memang telah kurencanakan pernikahanku bersama kekasihku diam-diam. Kami kembali menjalin asmara sejak janjiku untuk menceraikan wanita yang menyandang status istriku. Lalu kupaksakan lidah keluku untuk mengucap kata yang paling dibenci Tuhanku. Talak.
            “Akhirnya kamu benar-benar mengatakannya, Mas.” Dia menundukkan kepala seolah menyembunyikan basah di pipinya. Aku tak lagi mampu berbahasa.
            “Besok pagi aku akan pulang ke rumah Ibu, terima kasih, Mas. Kamu sudah mengajarkanku untuk bersabar juga cara menafkahi diriku sendiri, lahir ataupun batin,” wanita itu beranjak memalingkan diri dariku. Ya, wanita yang dulu bersarang hantu di setiap helai rambutnya.
            Lalu kubiarkan kenangan itu menguap bersama embusan napasku. Meskipun ingatan tentangnya masih lekat di saraf otakku. Namun, dia tak lagi menjadi bagian dalam masa depanku. Tak lain, ia hanyalah sepenggal kisah dalam bingkai masa lalu.
Seorang lelaki yang tak pernah ku lihat wajahnya, mengetuk pintu rumahku, tepat pada Minggu pagi saat aku tengah bersantai. Tapi dari baju yang dikenakan, aku tahu dia petugas pos. Dari Wonosobo, katanya. Kali ini aku benar-benar tersentak.
Selembar kertas putih ini, bertuliskan tinta kematian. Wanita yang pernah kusia-siakan tengah berduka. Gumpalan daging yang pernah bermukim tiga bulan di rahimnya, luruh bersama pendarahan hebat. Janin itu, lalu diangkat ke surga. Membaca rangkaian kata itu, seketika urat nadi di leherku seperti putus terhunus jenawi.
Aku akan mencari anak kita di Surga, Mas. Meminta cinta darinya.        



Semarang, 03 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar