Wanita Pemilik Rambut Bersarang
Hantu
Oleh: Dhani Susilowati
Aku mengingatnya lagi. Wanita yang
bersarang hantu di setiap helai rambutnya. Ya, aku pernah mendekap erat
tubuhnya di sebuah ranjang yang bertabur bunga. Senyum timbul di antara bibir
merahnya yang lembab. Aku tak menciptakan noktah yang merusak kesuciannya.
Meski hubungan kita halal lantaran akad pagi tadi. Gelap menenggelamkan sorot
matanya. Aku hanya mendekapnya semakin erat hingga kami terlelap.
Istriku masih sangat muda waktu itu.
Pipinya sering kali kemerahan ketika hawa dingin mulai bergesel dengan kulit
cokelatnya. Terlebih saat aku menuturkan namanya, Nike. Dia memang gadis desa
yang kerap bersentuhan dengan sayur-mayur hasil tanah Dieng. Namun setelah menikah,
dia tak lagi membantu ayah dan ibunya bertani.
Kami pindah di kota kelahiranku, Semarang. Ibuku telah menyediakan rumah
tepat di samping rumahnya.
***
Aku mendekap potret kita. Kala itu kau terlihat anggun
dengan kebaya putih dan aku tampak gagah dengan kemeja yang serasi dengan warna
kebayamu. Aku masih mendengus semerbak bunga yang mengisi seluruh ruang. Memori
itu menyeruak menembus dinding pembatas kenangan dalam benakku.
Sebelum menikah denganku, dia gadis kecil yang amat malang.
Wajahnya kumal, rambutnya gimbal hingga tak bisa disisir oleh ibunya. Upacara ruwat
acap kali ingin dilakukan, namun lagi-lagi istriku tak membuat permintaan yang
masuk akal.
“Aku
mau menikah dengan Mas Darma, Bu!” pinta gadis kecil berumur dua belas tahun.
Ini mustahil. Bahkan aku hanya sekali berpapasan dengannya di Telaga Warna
ketika diajak Nenek dan Paman Aji berlibur. Lagipula umurku baru tiga belas
kala itu.
Rambut gimbalnya dibiarkan tumbuh
tanpa pernah dicukur barang sehelai. Rieke hanya menutup mahkotanya dengan
sehelai kain. Rambutnya tertutup, begitupun dengan kepribadiannya. Ia sangat
tertutup dan keras kepala. Hampir tak ada yang mau berteman dengan gadis aneh
berbau mistis itu. Namun Nike tak pernah sepi, dia mempunyai banyak teman dalam
dunianya sendiri. Teman-temannya itu memiliki ruang khusus di setiap helai
rambut gimbalnya.
Dua bocah kecil berkepala botak
meminta Nike untuk mengejarnya. Ia sangat bingung, bocah pucat itu
kadang-kadang menghilang terlampau cepat dari pandangan mata. Lalu tampak
kembali, tawanya terbahak. Tempo hari, wanita cantik paruh baya meminta untuk
mendengarkan senandungnya. Rambutnya hitam tergerai. Mereka duduk di dahan
pohon belakang rumah Nike. Ayahnya hingga kehabisan cara untuk mencari. Ibunya
pucat pasi khawatir kalau-kalau dedemit keparat itu membawa puterinya pergi.
Setelah orang tuanya mengabaikan permintaannya untuk menikah, Nike sakit
keras selama dua tahun. Sekujur tubuhnya panas ketika malam ataupun siang.
Gimbal di rambutnya semakin menjadi. Resep dokter tak mampu memulihkan
keadaannya. Orang tuanya tak kehabisan akal. Mereka mendatangi rumah orang
pintar yang biasa disebut dukun di dataran tinggi Dieng.
“Anakmu bisa saja sembuh,” katanya sambil komat-kamit
membaca mantra.
“Lantas bagaimana carannya, Mbah?” tannya ayah Nike penuh
harap.
“Nikahkan anakmu!”
Atas resep dari dukun setempat, orang tuanya mengiyakan
permintaannya.
Istriku menjelma layaknya wanita
yang bermahkota baru, sejak upacara ruwat dilangsungkan bersamaan di hari akad
nikah kami. Prosesi sakral itu dilaksanakan di Batu Tulis yang terletak di
antara Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Sesaji yang tertata rapi. Musik
gamelan klasik yang membuatku bergidik. Aroma kemenyan yang menyeruak. Helaian
panjang yang menjadi sarang setan itu, dicukur perlahan. Aku sempat melirik
wanita itu. Memerah pipinya, buih-buih bening menyelinap dari penjara matanya.
***
Pagi itu, mentari sudah mulai silau
jika kupandang dari jendela kaca. Aku tergesa menyiapkan kemeja yang hendak
kukenakan untuk sidang skripsiku. Senyum khas istriku kembali menyelinap di antara
jiwa yang tergesa.
“Wah suamiku sudah mandi, lihatlah
kulitnya putih sekali.” Dia memuji. Aku diam saja, justru aku ingin enyah dari
pandangannya.
“Sayang ini kemejanya, pakailah.
Sini biar kubantu kau mengenakan dasinya!” dia selalu memperlakukan aku
layaknya raja.
Jika bukan permintaan terakhir nenek, mungkin aku tak akan
nikah muda. Itulah mengapa aku acuh pada istriku. Lagipula dia yang mengandaskan
kisah asmaraku dengan Vega, kekasihku. Sejak tahu aku sudah menikah, Vega
menghilang entah kemana. Bahkan tak ada kata-kata tanda berakhirnya hubungan
kami.
Vega yang selalu terlihat molek ketika mengibaskan
rambutnya. Paras ayu yang siap menggoda setiap pria. Entah pria berkacamata yang
rajin membaca di perpustakaan kampus ataupun mahasiswa yang terkenal brutal
sekalipun. Ya, aku pernah menjadi kekasihnya, mungkin masih menjadi kekasihnya
hingga saat ini.
Itulah, hingga aku semakin membenci
wanita yang selalu menyiapkan sarapan untukku. Kadang aku mencari alasan untuk
sekadar tak mau makan masakannya. Kerap kali aku berdalih pulang malam untuk
mengerjakan tugas agar tak melihat wajahnya, padahal aku hanya mondar-mandir di
kampus saja. Aku tahu pasti wanita itu menunggu sambil menyiapkan makan malam
untukku, tapi sering kali aku langsung mandi dan tak sedikitpun melirik menu
yang telah tersaji.
Di hari ulang tahunku yang ke-22,
aku sengaja tak pulang. Sedari tadi aku menunggu Vega di kedai kopi, tempat aku
menyatakan perasaanku kepadanya. Tentu setelah aku menerima balasan atas pesan
yang ku kirimkan tempo hari. Hingga larut, kekasihku tak kunjunng
menghampiriku. Kuputuskan tetap menunggu sambil menikmati gemerlap lampu bar.
Aku enggan pulang, bertemu wanita itu hanya membuat api di dadaku tersulut
berkobar.
Dering ponselku membuyarkan lamunan.
Kuraih cepat. Aku kira kekasihku, tapi lagi-lagi nama wanita itu, wanita yang
masih tak ingin kusebut istri, tertera di layar ponsel pintar.
Sayang,
tak ingatkah hari apa ini?
Mengapa kau
tak pulang hingga larut begini? Sayang apa kau baik-baik saja?
Suamiku, aku
menunggumu.
Mas Darma, kau
di mana? Biar aku menyusulmu.
Kepalaku serasa terbelah dua membaca pesan singkat itu. Kuputuskan
untuk mengabaikannya. Lalu kedapatan ada pesan masuk dari nomor yang berbeda.
Aku tak bisa datang malam
ini.
Sial! Darahku serasa menembus dinding vena yang
membendungnya. Kemudian aku menonaktifkan ponsel dengan paksa. Lalu menunggu hingga
jam digital yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukan pukul tiga pagi. Bukan
apa-apa, aku hanya tak mau bertemu dengan wanita itu.
Sayangnya aku salah. Ternyata waktu
tidak mampu melelapkannya. Ketika kubuka pintu, ia lekas menubrukku. Pelukan
hangat yang selama ini selalu kuhindari. Dia mencemaskanku terlihat jelas dari
sorot matanya. Aku masih menatapnya kali
ini, tatapan yang selalu ku usir pergi. Wanita itu merawat tubuhku, memapah dan
membaringkan badan besarku di ranjang. Kali ini aku membiarkan tangan yang
biasanya tak pernah kuizinkan untuk menyentuh setiap sisi dari jiwaku. Aku
menatap nanar, yang aku lihat hanya gelap sepekat kopi hitam. Kami terlelap
hingga cerah menerobos celah jendela kamar kami.
***
Aku terjebak dalam ruang yang kuciptakan sendiri.
Puing-puing kenangan yang masih tersisa di benakku sulit tersapu oleh waktu.
Senyumnya. Lesung di pipinya. Benar-benar masih terpatri di kepala. Pernah satu
pagi aura di hatinya benar terlihat nyata. Sangat berbeda. Istriku bergumam
menadakan sebuah lagu tanpa membuka bibirnya. Entah kenapa aku bahagia pula
pagi itu. Tak lagi memasang wajah malaikat Malik pada istriku. Malah sering aku
menarik bibirku dan menciptakan senyum setiap melirik ke arahnya.
“Kenapa kau tampak sangat bahagia?”
tanyaku.
“Tidak Mas, aku hanya senang dengan
musik ini.” Dia masih saja tersenyum, kali ini sambil memaut perut dengan
tangannya.
“Apa kau hamil?” tebakku mulai
curiga dengan gelagatnya. Kini kembali kupasang wajah seperti biasanya. Kaku.
Dia terdiam sejenak, lalu kembali melontarkan kata.
“Belum Mas, tapi aku masih berharap
bisa mengecup bibir malaikat kecilku dan menidurkannya suatu saat nanti.”
“Jangan bermimpi,” tukasku sembari
berlalu.
***
Sidang skripsiku usai dengan
penolakan yang sarkastik dari seorang dosen. Tubuhku terkulai lemas. Hampir
saja aku kehabisan napas. Saraf-saraf yang menyatu padu di otakku serasa terhempas.
Aku keluar dari ruang jahanam itu dengan senyum getir yang kupaksakan di bibir
gerauku.
Kembali timbul wajah istriku,
seperti gelap yang menyelimuti hari. Aku melihatnya membiarkan air mata itu
terhambur dari jeruji yang ia pasang sendiri.
“Kenapa kau? Tak usah mengharap belas kasihku!”
Dia menimpali dengan senyum khasnya, “Aku tidak apa-apa,
Mas. Bukan belas kasihan yang aku harap tapi cinta tulus darimu yang selalu aku
nantikan sejak tiga tahun pernikahan kita.”
“Aku memang punya
cinta yang sangat tulus tapi bukan untukmu, jangan mimpi,” sahutku dengan nada
yang sengaja aku tinggikan.
Bahkan aku sudah memikirkan cara
menceraikan wanita itu sejak hari mulai terang hingga malam menjelang. Memang
telah kurencanakan pernikahanku bersama kekasihku diam-diam. Kami kembali
menjalin asmara sejak janjiku untuk menceraikan wanita yang menyandang status
istriku. Lalu kupaksakan lidah keluku untuk mengucap kata yang paling dibenci
Tuhanku. Talak.
“Akhirnya kamu benar-benar
mengatakannya, Mas.” Dia menundukkan kepala seolah menyembunyikan basah di
pipinya. Aku tak lagi mampu berbahasa.
“Besok pagi aku akan pulang ke rumah
Ibu, terima kasih, Mas. Kamu sudah mengajarkanku untuk bersabar juga cara
menafkahi diriku sendiri, lahir ataupun batin,” wanita itu beranjak memalingkan
diri dariku. Ya, wanita yang dulu bersarang hantu di setiap helai rambutnya.
Lalu kubiarkan kenangan itu menguap
bersama embusan napasku. Meskipun ingatan tentangnya masih lekat di saraf
otakku. Namun, dia tak lagi menjadi bagian dalam masa depanku. Tak lain, ia
hanyalah sepenggal kisah dalam bingkai masa lalu.
Seorang lelaki yang tak pernah ku lihat wajahnya, mengetuk
pintu rumahku, tepat pada Minggu pagi saat aku tengah bersantai. Tapi dari baju
yang dikenakan, aku tahu dia petugas pos. Dari Wonosobo, katanya. Kali ini aku
benar-benar tersentak.
Selembar kertas putih ini, bertuliskan tinta kematian. Wanita
yang pernah kusia-siakan tengah berduka. Gumpalan daging yang pernah bermukim
tiga bulan di rahimnya, luruh bersama pendarahan hebat. Janin itu, lalu
diangkat ke surga. Membaca rangkaian kata itu, seketika urat nadi di leherku
seperti putus terhunus jenawi.
Aku akan mencari anak kita
di Surga, Mas. Meminta cinta darinya.
Semarang,
03 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar