Sabtu, 24 September 2016

Tanggapan Opini City Branding Kota Kretek

Budaya Sebagai Dasar Branding Sebuah Kota
Oleh: Dhani Susilowati




Bagus Sandi Tratama dalam opininya yang berjudul City Branding Kota Kretek  (Tibun Jateng, 23 September 2016)  melampirkan gagasannya perihal branding sebuah kota. Dalam hal ini, Kudus menjadi sorotan utamanya. Dengan bangga Kudus mendeklarasikan ‘Kota Kretek’ sebagai kekhasan Kabupaten Kudus.
Memang, dengan branding tersebut, masyarakat Kabupaten Kudus tidak perlu  mengeluarkan tenaga dan biaya lebih mahal untuk mempublikasikan kota. Akan tetapi,  bertumpu pada industri rokok kretek pastilah akan menuai berbagai kontra di dunia, khususnya di Indonesia. Bagaimana mungkin, di tengah kampanye besar-besaran dalam upaya penolakan rokok di Indonesia, Kabupaten Kudus malah mendeklarasikan dan mendukung penuh industri rokok sebagai jantung kota.
Secara finansial, industri rokok kretek mampu mendanai berbagai kegiatan sosial, seperti pendidikan, olahraga, kesehatan dan infrastuktur kota. Namun, pada kenyataannya dana yang  diperoleh dari industri rokok kretek harus mengorbankan nyawa orang banyak. Tak sedikit, penyumbang kematian di Indonesia adalah rokok. Dengan begitu, berarti dana tersebut diperoleh dengan cara membunuh untuk menghidupi orang lain. Untuk bertahan hidup tidak harus membunuh, bukan?
Penciptaan branding terkadang memang sulit, akan tetapi setiap kota pastilah memiliki hal unik yang membedakannya dari kota lain. Baik dari segi seni maupun budaya. Nah, aspek itulah yang seyogyanya lebih ditonjolkan untuk selanjutnya dapat dijunjung sebagai mahkota sebuah kota. Dengan demikian, berbagai tingkatan sosial di kota yang bersangkutan tidak perlu menimbun potensi dasar yang telah dianugerahkan alam pada kota tersebut.
Seni akan menjadi sarang estetika bagi suatu daerah. Sama halnya dengan Kudus. Kota ini pun terkenal dengan seni arsitektur dalam rumah adat Kudus. Kekhasan produk bordir dan gebyog Kudus pun dapat dijadikan ikon Kabupaten Kudus. Jika Kudus mampu memanfaatkan seni sebagai kekhasan daerahnya, maka akan sangat mudah mengenalkan berbagai destinasi wisata ynag ada di Kabupaten tersebut. Seiring berkembangnya wisata, berbagai makanan khas dan pernak-pernik yang mencirikan Kudus akan dengan mudah diminati masyarakat lokal maupun internasional.
Branding sebuah kota yang didasarkan pada budayanya, dirasa akan membahana daripada bertumpu pada sebuah industri. Menciptakan wisata baru berdasar industri rokok, dirasa kurang edukatif karena dalam dunia pendidikan rokok pun ditentang. Bahkan tidak satu pun sekolah di Indonesia yang memperbolehkan dan memberi kebebasan pada peserta didiknya untuk merokok. Memang menyangkut ilmu dan pengetahuan itu adalah keperluan utama. Pun perihal berbagai upaya penelitian, buku, film dan karya sastra lainnya mengenai industri rokok kretek. Ilmu seyogyanya mampu berperan serta dalam membangun peradaban masyarakat penganutnya. Nah, dalam hal ini, apakah dengan mendirikan sarana wisata seperti museum rokok akan memberikan dampak baik bagi masyarakat?
Rokok bukan hanya dipandang sebelah mata di ranah pendidikan. Pemerintahan di dalam negeri pun berupaya meminimalis ketergantungan bangsa terhadap rokok. Itu terbukti dengan persetujuan beberapa tokoh masyarakat, seperti yang dilontarkan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta yang dengan serius menanggapi isu kenaikan harga rokok. Meskipun wacana tersebut hanyalah dibuat berdasarkan penelitian Mahasiswa Universitas Indonesia terkait akan turunnya jumlah perokok apabila harga rokok dinaikkan hingga angka 50 ribu rupiah. Wacana semacam itu belum secara resmi ditetapkan oleh pemerintah, akan tetapi sudah banyak masyarakat yang menyetujuinya.
Suatu persetujuan memang tidak serta-merta tanpa konsekuensi. Sudah jelas, Indonesia belum bisa sepenuhnya terlepas dari cengkrama industri rokok, karena penduduk Indonesia pun banyak yang mendapatkan pekerjaan lantaran adanya industri tersebut. Lalu, masalah pengangguran yang membludak, pastilah menjadi momok paling menakutkan di tanah air. Nah, untuk mengatasi problema tersebut, tidak mudah memang. Maka pemerintah perlu menyediakan lowongan pekerjaan di bidang lain agar Indonesia tidak selamanya bergantung pada industri rokok. Khususnya di Kabupaten Kudus.

 Sederet pernyataan tersebut, tentu saja belum mampu menggeser kubu kontra pada posisi yang nantinya akan menyetujui bahwa industri rokok dapat dijadikan branding sebuah kota.

Senin, 12 September 2016

Cerpen: Pertemuan di Benak Mila

Pertemuan di Benak Mila
Oleh: Dhani Susilowati

Mila, wanita yang tengah hamil tua itu berpendar-pendar pandangnya. Nanar, hingga lampu-lampu kendaaraan di jalan an tampak layaknya kunang-kunang. Akhir-akhir ini dia sering takut pada dirinya sendiri. Ada bau amis bercampur anyir yang dirasa muncul di atas kepala wanita itu. Beberapa kali ia bercermin, tapi tak didapati apa pun jua. Entah itu darah atau barangkali borok bercampur nanah.
Memang, malam itu tepat tiga puluh hari Arman menghilang. Tepatnya selang beberapa waktu setelah Kusno berhasil menembak sembilan orang serdadu Belanda. Surabaya sibuk berkoar-koar perihal kehebatan Kusno kala itu. Begitu agungnya nama pemuda bertubuh tegap itu diteriakkan kawanan manusia berkulit sawo matang. Baik petang maupun terang.
Bebal, pendengaran Mila seakan kerasukan gumpalan hitam tebal yang mengepul dari kumpulan asap bibir orang-orang.
“Kusno memang pemuda yang hebat, kau tahu bukan?” celetuk seorang wanita sembari memamerkan dagangannya.
“Jika lelaki itu mampu menembak mati pasukan Belanda, pasti tidak mustahil kalau lelaki itu pun mampu meluluhkan hati anakku,” sahut wanita paruh baya di sebelahnya.
“Kusmini anakmu itu, hahahahah sudahlah jangan berharap. Kusno si perjaka tangguh itu tidak akan cocok untuk anakmu.”
“Iya kau benar, Kusno hanya pantas untuk anakku,” wanita yang ada di samping Mila pun tak mau kalah memamerkan putrinya.
“Anakmu yang mana, Mila maksudmu? Ah yang benar saja.”
Sederet kata-kata yang dilontarkan Bu Hadmi begitu ampuh untuk sekadar menyumpal mulut segerombolan pedagang sayur di Pasar. Namun, mereka rupanya tidak hanya bungkam. Malah berganti adu tatap dengan Mila. Lantas saja wanita itu terusik hatinya. Dia mengutuki nasibnya hingga sedikit beku mulai  bersarang dalam nurani.
“Arg, sial!”
Tendangan kuat dari jagoan kecil rupanya mampu menggetarkan diding rahim Mila. Sedikit sakit, memang. Tapi kesakitan yang sedikit itu malah menambah dendam. Hingga Mila memutuskan untuk menarik ibunya dari kerumunan desas-desus bajingan yang mengaku pahlawan.
Sejak Arman tidak pulang, Bu Hadmi tampak tenang-tenang saja. Tidak ada kekhawatiran, sekalipun akan menyaksikan putrinya berjuang menghidupi seorang bayi. Tidak ada kekhawatiran , sekalipun mengingat seorang anak akan bertanya-tanya mengenai bapaknya, nanti. Barangkali ia juga ditanya. Betapa pun itu, Bu Hadmi hanya bersyukur tak perlu melenyapkan menantunya dengan susah-payah. Kebenciannya pada Arman telah didengar oleh Tuhan dan dikabulkan melalui takdir. Takdir dengan suka-rela memisahkan ikatan cinta mereka. Kata Mila cinta, tapi tak pernah seperti itu tanggapan Bu Hadmi. Tidak ada cinta, pernikahan mereka hanya petaka belaka.
***
“Bu, makanlah dulu!”
Mila diam saja. Mengedipkan mata pun tidak. Kaki dan tangannya masih tetap kuat melekat pada rangka kayu. Lehernya pun begitu, masih khidmat dalam bongkahan kayu yang melilitnya. Wanita itu mau membuka mulutnya saat cahya matahari pagi mulai menerobos masuk bilik bambu. Dan ditampunglah sesuap nasi itu di antara gigi-gigi kecil, rapi, tetapi makin ditebalkan kemuning kerak.
“Mas, Amran, cepat sedikit, kau bisa terlambat, nanti!” Pika, segera meneriaki suaminya dari rumah.
“Iya, Pik, sebentar,” sahut Amran lebih keras.
Bilik bambu tempat Mila dipasung memang tidak bergandeng dengan rumah Amran. Malah, dipisahkan oleh rerimbunan pohon bambu. Rumah Amran, agak jauh dengan para tetangga. Ya, sekitar empat puluh tujuh meter, kebun pisang dan nanas yang menjadi jaraknya.
“Ayolah, Bu, habiskan makanannya. Aku akan segera pergi kerja!”
Mila masih diam saja. Tapi kali ini matanya yang tak berkedip sedari tadi itu malah basah. Butiran bening seolah menerobos melalui celah-celah penjara mata. Lantas Amran makin marah.
“Terus saja menangis, Bu! Barangkali tangismu itu mampu menghapus dosa-dosamu.”
Bangkit lelaki beristri itu. Lalu enyah dari pelupuk mata yang basah. Jangan heran, dunia memang seperti itu. Air mata, kau pikir dunia kasihan dengan manusia-manusia lemah penyumbang air mata? Oh, tidak, kau salah. Ingatlah, seisi dunia hanya berpihak padamu ketika kau sedang tertawa. Begitu pun Amran pada ibunya.
***
Gelap menjadi pertemuan antara bebauan kamboja dan bangkai-bangakai manusia. Semakin pekat, akan tetapi tetap riuh oleh kepak kawanan gagak dan dengung lalat. Pertemuan itu tidak dijumpai di tempat mana pun. Tidak oleh siapa pun, kecuali Mila. Selalu, setiap matahari mengutarakan perpisahannya melalui senja, sejak itu pula pertemuan itu ada. Pertemuan yang mewakili segenap nurani-nurani yang patah. Dan Mila tak pernah lepas dari paksaan untuk menjahitnya.
Keping-keping ingatan itu mulai berhamburan. Saling direbutkan, ditarik, diulur beratus-ratus gagak hitam. Lalat yang berdengung menciumi koreng di sekujur tubuh Mila, kini berdengung di kepalanya. Ruang gelap di bawah tanah itu benar-benar menyisakan kematian dalam sebuah kehidupan. Bagaimana tidak, raganya seolah terasingkan dari kehidupan. Gelap, dan menyatu dengan asal-muasal kehidupan, tanah.
Amis. Tak berwarna, hanya gelap karena tak ada cahaya. Mulanya bagian lengan terpotong dan basah akan bebauan amis itu. Lengan satunya lagi pun tercacah menjadi dua. Menghadirkan aroma yang sama amisnya. Kemudian bagian perut terbelah, rusuknya pecah. Lalu, penggallah lehernya oleh parang yang baru saja selesai diasah. Kini kakinya pun tak utuh. Tubuh pemuda itu layaknya kepingan puzell yang tidak lagi mampu disatukan ulang.
Sebelas bulan setelah penembakan serdadu Belanda, Surabaya dikabarkan oleh kematian. Kusno tewas mengenaskan. Jasadnya ditemukan di pelataran pasar.
“Bagaimana mungkin pemuda itu mati?” seorang pedagang sayur di pasar pagi mulai membuka gunjingan harian.
“Entahlah, kematiannya mengenaskan sekali. Tubuhnya dipotong-potong seperti ayam-ayam yang kau jual itu,”cerca pedagang yang lainnya.
“Sungguh mengerikan, siapa yang tega melakukannya? Pasti bule-bule bersenjata itu.” Seorang lagi menambahkan asumsi.
Mila menyaksikan kasak-kusuk kumpulan manusia yang pernah amat tajam menatapnya. Kini mata mereka diliputi kebingungan. Sedang Mila merasakan tubuhnya ringan diangkat ribuan tangan, karena berhasil memenangkan kebencian. Bukan siapa pun atau buku mana pun yang mengajarkannya mengayunkan parang untuk memisakhan rangkaian tubuh orang. Namun, dendam yang menuntunnya.
“Mila, kau harus bersabar atas kematian suamimu,” bujuk seorang pedagang ayam. Disambut dengan senyum kecut Mila sambil menggendong putranya.
“Jangan bergerak!” Seru seorang lelaki dari belakang Mila. Semua tercengang. Pembeli yang berdesakan bergeser minggir pelan-pelan.
“Ada apa ini?” Mila lebih tercengang.
“Kami membawa surat perintah untuk memeriksa saudari Mila terkait pembunuhan Kusno.” Kasak-kusuk itu makin menjadi, tapi Mila tak sempat mendengarnya lantaran polisi membawanya pergi.
***
Gelap menjadi pertemuan antara bebauan kamboja dan bangkai-bangakai manusia. Semakin pekat, akan tetapi tetap riuh oleh kepak kawanan gagak dan dengung lalat. Pertemuan itu tidak dijumpai di tempat mana pun. Tidak oleh siapa pun, kecuali Mila. Selalu, setiap matahari mengutarakan perpisahannya melalui senja, sejak itu pula pertemuan itu ada. Pertemuan yang mewakili segenap nurani-nurani yang patah. Dan Mila tak pernah lepas dari paksaan untuk menjahitnya.
“Mila, saya sangat mencintai kamu,” ucap Kusno di satu malam.
Menoleh pun tidak, Mila tetap membelakangi lelaki itu. Masih memandang lekat bayi laki-laki yang dulu bersemayam di rahimnya saat semua warga pasar mengelu-elukan lelaki yang tengah mendekapnya diam-diam.
“Aku sangat tersiksa meski hanya melihatmu ada.”
Kusno mulai menanggalkan senyumnya. Dia memang tahu, tidak ada lelaki lain yang dicintai oleh Mila selain mantan suaminya, Arman. Meski begitu Kusno mengaku senang. Di antara kesenangan itu, kemudian muncul kerumunan bayang-bayang di benaknya. Hingga bibirnya tak lagi bungkam. Tuhan rupanya mengirimkan setan di antara kerumunan bayang –bayang itu.
“Heh, jangan pernah berpikir kalau kamu masih mencintai Arman. Bahkan harusnya cintamu itu ikut mati bersama raganya.”
“Beraninya kau menyebut nama suamiku,” teriak Mila.
“Siapa yang kau maksud suamimu? Bodoh sekali bahkan kamu tidak pernah mengerti jika saya sudah berkorban terlalu jauh untuk menikah dengan kamu.”
“Kekasih sejatiku boleh mati, tapi cintanya masih tetap di sini, ada di setiap embus napasku,” tukas Mila. 
“Bahkan kamu tidak tahu bagaimana lelaki itu mati. “
Pasukan berseragam itu rupanya mengetahui persembunyian Kusno, Arman dan Dwi Jaya. Maka Kusno lari setelah mengumpankan Arman pada kawanan bengis dari barat. Begitu pun Dwi Jaya. Karena amarah, pistol kecil Arman mampu melenyapkan sembilan tentara Belanda. Sayang, hidupnya direnggut satu tembakan tepat di dadanya.
Gelap menjadi pertemuan antara bebauan kamboja dan bangkai-bangakai manusia. Semakin pekat, akan tetapi tetap riuh oleh kepak kawanan gagak dan dengung lalat. Pertemuan itu tidak dijumpai di tempat mana pun. Tidak oleh siapa pun, kecuali Mila. Selalu, setiap matahari mengutarakan perpisahannya melalui senja, sejak itu pula pertemuan itu ada. Pertemuan yang mewakili segenap nurani-nurani yang patah. Dan Mila tak pernah lepas dari paksaan untuk menjahitnya.
“Mila, tak mengapa jika kau sudah tak mencintaiku. Tapi kumohon, bawakan aku bunga dan deretan doa, agar aku bahagia di sini.” Di suatu senja yang cahyanya menerobos bilik bambu, Arman muncul kembali.
“Jangan gila, Sayang. Mengapa memintaku seperti itu, bahkan kau belum mati, dan tidak akan pernah mati bagiku.”
Byar, senyumnya, tatapan sendunya, peluk hangatnya dan tubuh tegap yang pernah menenggelamkan tubuh Mila pecah terbentur suara Amran.
“Bu, aku tahu Ibu seperti ini karena dendam. Tapi, Bu, jangan pernah merencanakan pembunuhan seperti yang tempo hari ingin Ibu lakukan,” pinta lelaki itu pada ibunya.


Semarang, 12 September 2016

Selasa, 06 September 2016

Pendekatan Pragmatik

 TEORI SASTRA
Pendekatan Pragmatik
Dosen pengampu: Dr. Harjito, M. Hum.
 


Disusun Oleh:
Pipit Apriliana                         (15410225)
Prananing Meisya M.              (15410226)
Dhani Susilowati                     (15410227)


PROGDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PGRI SEMARANG
2015





Pendekatan Pragmatik

A.    Hakikat Pendekatan Pragmatik
Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra. Munculnya pendekatan pragmatik bertolak dari teori resepsi sastra dalam  pemahaman karya sastra yang merupakan reaksi terhadap kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pendekatan struktural. Sebab pendekatan struktural ternyata tidak mampu berbuat banyak dalam upaya membantu seseorang dalam menangkap dan memberi makna karya sastra. Pendekatan struktural hanya dapat menjelaskan permukaan dari teks sastra karena hanya berbicara tentang struktur atau unsur-unsur dalam karya sastra. Banyak segi lain yang diperlukan untuk lebih menjelaskan makna karya sastra. Untuk dapat menangkap segi-segi lain itu para pakar mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu pendekatan pragmatik.
Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka semakin baik karya sastra tersebut.
Pendekatan pragmatik mempertimbangkan impilkasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik, di antaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.

B. Pengertian Pendekatan Pragmatik Menurut para Ahli
Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra.
Sedangkan menurut para ahli mendefinisikan pendekatan pragmatik adalah sebagai berikut:
1.    Menurut Teeuw, 1994 teori pendekatan pragmatik adalah salah satu bagian ilmu sastra yang merupakan pragmatik kajian sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra.
2.    Relix Vedika (Polandia), pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang tak ubahnya artefak (benda mati) pembacanyalah yang menghidupkan sebagai proses konkritasi.
3.    Dawse dan User 1960, pendekatan pragmatik merupakan interpensi pembaca terhadap karya sastra ditentukan oleh apa yang disebut “horizon penerimaan” yang mempengaruhi kesan tanggapan dan penerimaan karya sastra.
Pendekatan ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat memberi kesenangan bagi pembacanya. Pemanfaatan pendekatan ini harus berhadapan dengan realitas konsep keindahan dan konsep nilai dedaktif.

C. Metode Pendekatan Pragmatik
Penelitian persepsi pembaca terhadap karya sastra dapat menggunakan beberapa metode pendekatan,antara lain pendekatan yang bersifat eksperimental, melalui karya sastra yang mementingkan karya sastra yang terikat pada masa tertentu ada pada golongan masyarakat tertentu.
1.        Kepada pembaca perorangan atau kelompok diminta membaca karya sastra, lalu sejumlah pertanyaan dalam angket yang berisi tentang tanggapan, kesan, penerimaan terhadap karya yang dibaca tersebut, dijawab oleh pembaca, data yang diperoleh akan dianalisis.
2.        Kepada pembaca perorangan atau kelompok diminta membaca karya sastra, kemudian ia diminta untuk menginterpretasikan karya sastra tersebut. Interpretasi-interpretasi yang dibuat oleh pembaca dianalisis secara kualitatif untuk melihat bagaimana penerimaan atau tanggapannya terhadap karya sastra.
3.        Kepada masyarakat tertentu diberikan angket untuk melihat persepsi mereka terhadap karya sastra, misalnya persepsi sekelompok kritikus terhadap karya sastra modern,  persepsi masyarakat tertentu terhadap karya sastra daerahnya sendiri.

D. Prinsip-prinsip Dasar Pendekatan Pragmatik
1.   Otonomi karya sastra dianggap tidak relevan dalam kajian karya sastra, karena terlalu menganggap karya sastra sebagai struktur yang otonom. Padahal karya sastra tersebut tidak mempunyai kewujudannya sendiri sampai dibaca. Karena itu untuk dapat memahami sebuah karya sastra, pendekatan pragmatik tidak terlalu terikat pada struktur sastra semata, melainkan juga kepada faktor yang ada pada diri pembaca secara kontekstual. Oleh karena itu, bentuk telaahnya kompleks daripada pendekatan struktural yang hanya tertuju pada struktur teks saja.
2.   Pendekatan pragmatik membuktikan bahwa  karya sastra sebagai artefak, pembacalah yang menghidupkannya melalui proses yang konkrit. Karya sastra hanya menyediakan etita atau kode makna, sedangkan makna itu sendiri diberikan oleh pembaca. Karya sastra tidak mengikat pembaca, tetapi menyediakan tempat yang kosong untuk diisi oleh pembaca. Maksudnya adalah bahwa teks sastra seperti puisi tidak pernah mempunyai makna yang terumus dengan sendirinya, sehingga diperlukan tindakan pembaca untuk merumuskannya.
3.   Pembaca bukanlah pribadi yang tetap dan sama, melainkan selalu berubah dan berbeda. Oleh karena itu,  pembaca dalam melakukan proses pemahaman dipengaruhi oleh horison penerimaannya, maka subjektivitas pembaca mungkin berbeda antara satu dengan lainnya. Itulah sebabnya teknik telaahnya pragmatis dan dialektik.
4.   Teks sastra selalu menyajikan ketidak pastiaan makna, sehingga memungkinkan pembaca untuk memaknai dan memahaminya secara terbuka lebar (Teeuw 1984; Junus 1985; Salden 1986; dan Jefferson & Robey 1988). Ketidakpastiaan itulah mengapa pangkal tolak telaah pendekatan pragmatik ini dalam mengapresiasi karya sastra pada persepsi pembaca

E. Karakteristik Pendekatan Pragmatik dalam Menelaah Karya Sastra
1. Asumsi dasar pendekatan pragmatik adalah bahwa karya sastra merupakan sesuatu yang bersifat artefak. Ia merupakan suatu benda yang belum mempunyai jiwa, dan baru mempunyai jiwa bila dinikmati atau dipahami oleh pembaca.
2. Dalam menelaah, unsur yang menjadi objek telaah mencakup seluruh unsur, baik fisik maupun unsur batin dan unsur-unsur lain yang dapat dijadikan acuan untuk mengkongkretkan makna yang abstrak.
3. Dasar pertimbangan dalam penentuan makna adalah perpaduan unsur intrinsik dengan unsur ekstrinsik serta faktor genetik dan pengalaman yang dipunyai pembaca.
4. Esensi karya sastra adalah makna setiap unsur, hubungan antara unsur dan keterpaduannya dihubungkan dengan konteks kesemestaan dan sistem kognisi pembaca.

F. Teks dan Analisis Teks
Teks Cerpen
Patung Perempuan
September 30, 2015  Sena Harjito  Sastra
Cerpen: Harjito

Aku  melewati jalan Hantu sepulang dari rumah Bejo.  Seperti  biasanya  aku  memperhatikan rumah yang semak belukarnya tidak teratur itu  yang sering disebut penduduk kampung sebagai rumah hantu.
Langit sedikit bergemuruh. Tampaknya hujan mau membasah. Tak ada bunyi  lonceng yang mendirikan bulu roma. Di kampung kami  tak ada lolongan serigala. Hanya kelepak sayap kelelawar mencari makan.
Ingatanku melayang ke tahun-tahun lampau.
Waktu aku masih sangat kecil rumah hantu belum berdiri.  Tempat itu masih lapangan rumput.  Aku bersama  teman-teman senang main layang-layang. Kakak-kakakku  lebih  suka  bermain  bola  volley.  Main volley aku tak bisa. Tanganku belum kuat. Terlalu lemah.
Sering-sering sehabis  memukul satu-dua  kali  aku mengaduh.  Tanganku  serasa terbakar  dan  panas.  Meski begitu,  aku  tak  jera. Kakak acap  jengkel sebab pukulanku   lebih  sering  melenceng  dari  arah  yang direncanakan.
Kami pun bermain sepak bola. Bal-balan. Tanpa sepatu. Pakai bola plastik. Bukan  bola yang  digunakan Pele. Bola plastik. Murah dan ringan bagi kaki.
Sehabis lelah bermain kami tiduran di tanah sembari menggigit batang-batang rumput. Bila bosan kami  mencari kupu-kupu atau kepik emas, binatang kecil yang  warnanya memikat.
Kami paling bangga membawa ketapel. Layaknya Tarzan  yang  jagoan, kami  mengetapel  burung gereja.  Sialan. Tak  pernah kena.  Malah karetnya sering membalik. Menyerempet  kena kening  kepala.
Kami juga memanjat pohon asam dan  menguliti buahnya.  Kalau  mujur kami  memperoleh sarang burung  beserta piyik, anak burung.  Anehnya,  selalu  gagal  tumbuh  besar. Terlanjur mati dahulu.
Di depan pintu rumah itu — mungkin  agak ke belakang sedikit — ada sebuah gua. Gua karang  yang lumutan. Batunya memang bukan batu biasa, tetapi batu karang. Hitam dan panjang. Bukan.  Bukan  gua yang menjurus ke  sungai, tempat di mana teman-teman suka berenang.  Bukan. Kami berkali-kali  memasukinya.  Kami  hapal  betul   segenap lekuk-liku  dan  coret-moret di dinding  karang.  Tak  ada tanda-tanda  menembus inti bumi. Apalagi menuju ke sungai  yang mengalir di sebelah sana.
Menurut  cerita  orang-orang  tua, daerah  ini  bekas  pantai.  Bekas laut. Lantaran laut makin surut, garis pantai  meninggalkannya bengong sendiri. Kemudian muncullah Gua Karang.
Ada  satu  lagi:  di pintu belakang  gua,  agak  ke sebelah  kanan  terdapat patung perempuan  berkain  sebatas dada. Kami menyebut patung perempuan itu  sebagai patung ibu. Gerak tangan ibu seolah tengah menggandeng anak  kecil,  tetapi si anak kecil pergi entah ke mana.
Kata orang-orang tua lagi: anak kecil putra ibu hilang terbawa gelombang laut. Ibu  tak  sempat menyelamatkan.  Ada siratan kesedihan   yang  terpancar  dari  wajah   ibu.  Sebuah kesedihan    yang   mampu menghilangkan gurat-gurat kecantikan.
Aku  sering digandeng  ibu.
Tiap kugandeng tangannya, selalu kurasakan sebuah kedamaian menjamah relung hati. Seperti es batu mendinginkan kerongkongan yang kering kerontang. Sambil jalan-jalan  aku omong-omong dengannya.
“Di mana anakmu?” aku ingin tahu.
Ia hanya memandangku.
“Ia sebesar aku?” desakku lagi.
Ia  jongkok.  Mensejajarkan dirinya  dan  memandang mataku lekat-lekat.
“Apakah ia mirip aku?”
Pertanyaanku tak dijawabnya.
Ia menjunjung tubuhku. Lantas, kami  berjalan bergandengan  menyusuri kembali bekas telapak kaki yang  tertinggal di pantai. Sesekali ombak  kecil menerpa dan membasahi kaki.
Angin   berhembus.  Pori-pori   kulitku   meremang. Benarkah rumah hantu sedemikian angkernya sebagaimana cerita orang?
Mengapa harus takut? Di antara teman-teman  bemain, akulah  yang  paling  berani  soal  hantu.  Aku   berani sendirian  jalan melewati kuburan di malam hari. Bejo terkencing-kencing  gara-gara kutinggal beberapa langkah.
Agak dag dig dug aku melangkah memasuki  halaman.
Menurut  penuturan  beberapa orang, tempat  ini  menyeramkan dan berbahaya. Sudah hampir  empat tahun terlantar. Ditinggalkan  si  pemilik  yang  tidak  kuat menghadapi  banyak godaan. Dilempari  batu,  diteror suara-suara  aneh, atau sakit-sakitan.  Pokoknya  ada saja  kemalangan  yang menimpa.
Baru  saja  aku  hendak membuka  pintu,  terdengar   suara  gemuruh. Luar biasa ribut bagai seribu gajah menghentaki bumi. Tanah berdebum-debum. Mungkinkah terjadi gempa atau  di luar turun  hujan deras. Sekonyong-konyong air datang bergulung-gulung. Menggulung tubuhku. Aku terseret.
Aku  tergagap. Apakah tanah  ini  tiba-tiba menjelma  kembali  menjadi  pantai? Kurasakan badan yang basah dan menggigil. Aku berteriak-teriak  minta tolong. Minta tolong sampai  tenggorokanku parau. Kakiku  meronta-ronta.
Yang paling aku takuti adalah air. Air. Aku tidak bisa berenang. Aku terseret   gelombang  air.   Malam tambah pekat. Langit tambah gelap. Siapa bakal peduli lolonganku. Dalam  keremangan, sebuah tangan  terulur.  Sebuah tangan  yang  lembut  dan lentik. Sepertinya aku sangat mengenal tangan itu.  Ataukah tangan peri yang sering diceritakan Bejo?
Beberapa  tegukan air membuatku  megap-megap. Aku timbul tenggelam dalam pusaran air. Kakiku begitu  kaku. Sebentar  lagi aku akan mati. Aku masih  berharap  bahwa ini  hanya  mimpi buruk ketika sebuah kayu  besar menghantam lenganku.
*****
Banjir bandang datang. Demikian  berita  posko mengabarkan. Satu orang selamat dari amukan air bah. Ia ditemukan bersama patung perempuan di  tempat  ketinggian. Tersangkut pada  sebatang  pohon besar yang tumbang.
Orang yang selamat itu adalah aku.


Analisis Teks
No
Nama
Profesi
Tanggapan Terhadap Teks
Kelebihan
Kelemahan
Pesan dan nilai
1
Zahratul Wahdati
Mahasiswa PBSI
·      Menggunakan simbol
·      Diksi menarik
·      Cerita sulit dipahami
·      Jangan mudah menyerah
·      Nilai budaya (mistis)
2
Ajeng Ayuningtyas
Mahasiswa BK
·      Akhir cerita susah ditebak
·      Bahasa mudah dipahami
·      Akhir cerita membingungkan
·      Jadilah pemberani
·      Nilai sosial
3
Siti Hamidah
Karyawati
·      Bahasa mudah dipahami
·      Cerita sulit dipahami
·      Memiliki rasa keingintahuan yang tinggi
·      Nilai ekonomi
4
Dwi Rachmadani
Mahasiswa PBSI
·      Akhir cerita mengesankan
·      Cerita membingungkan
·      Alur cerita aneh
·      Tidak melupakan kenangan
·      Nilai budaya (mistis)
5
Desi Wismasari
Asdos BK
·      Bahasa yang digunakan mudah dipahami
·      Kata-kata sedikit kasar
·      Memiliki rasa penasaran yang tinggi
·      Nilai budaya (mistis)
6
Resa
Mahasiswa Matematika
·      Kata-kata mudah dipahami
·      Jalan cerita membingungkan
·      Boros kata
·      Jangan takut terhadap hal-hal mistis
7
Ginanjar
Mahasiswa TI
·      Jalan cerita susah ditebak
·      Cerita kurang logis
·      Hilangkan rasa takut
·      Nilai sosial
8
Novalia Amartha
Mahasiswa PBSI
·      Banyak menggunakan majas dan kiasan
·      Bahasa sulit dipahami
·      Milikilah jiwa pemberani
9
Siti Umairoh
Mahasiswa PBSI
·      Cerita menarik dan tidak mudah ditebak
·      Bahasa yang digunakan sulit dimengerti
·      Jadilah berani, tetapi jangan membahaya-kan diri sendiri
10
Feby Dwi Lestari
Mahasiswa PBSI
·      Cerita mudah dipahami dan menarik untuk dibaca
·      Terdapat kata yang kurang baku
·      Jadilah pemberani


Bukti tanggapan:
1.    Zahratul Wahdati
·      Menggunakan simbol: patung perempuan disimbolkan sebagai seorang ibu.
·      Diksi menarik: Tampaknya hujan mau membasah; Sebuah kesedihan yang   mampu menghilangkan gurat-gurat kecantikan; Tanah berdebum-debum; Minta tolong sampai  tenggorokanku parau. Kakiku  meronta-ronta.
·      Tisak mudah menyerah: Tanganku  serasa terbakar  dan  panas.  Meski begitu,  aku  tak  jera.
·      Nilai budaya (mistis): Angin   berhembus.  Pori-pori   kulitku   meremang. Benarkah rumah hantu sedemikian angkernya sebagaimana cerita orang?

2.    Ajeng Ayuningtyas
·      Bersifat pemberani: Mengapa harus takut? Di antara teman-teman  bemain, akulah  yang  paling  berani  soal  hantu.
·      Nilai sosial: Aku bersama teman-teman senang main layang-layang.

3.    Siti Hamidah
·      Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi:
“Di mana anakmu?” aku ingin tahu.
Ia hanya memandangku.
“Ia sebesar aku?” desakku lagi.
Ia  jongkok.  Mensejajarkan dirinya  dan  memandang mataku lekat-lekat.
“Apakah ia mirip aku?”
Pertanyaanku tak dijawabnya
·      Nilai ekonomis: Bola plastik. Murah dan ringan bagi kaki.

4.    Dwi Rachmadani
·      Tidak melupakan kenangan atau masa lalu: Ingatanku melayang ke tahun-tahun lampau.
·      Nilai budaya (mistis): Aku  melewati jalan Hantu sepulang dari rumah Bejo.

5.        Desi Wismasari
·      Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi: Benarkah rumah hantu sedemikian angkernya sebagaimana cerita orang?
·      Nilai budaya (mistis): Menurut  penuturan beberapa orang, tempat  ini  menyeramkan dan berbahaya.
·      Menggunakan kata-kata yang sedikit kasar: Sialan. Tak  pernah kena. 

6.        Resa
·      Boros kata: Sering-sering sehabis  memukul satu-dua  kali  aku mengaduh. 
·      Jangan takut terhadap hal mistis: Mengapa harus takut? Di antara teman-teman  bemain, akulah  yang  paling  berani  soal  hantu. 

7.        Ginanjar
·      Cerita kurang logis: Apakah tanah  ini  tiba-tiba menjelma  kembali  menjadi  pantai? Kurasakan badan yang basah dan menggigil; Ataukah tangan peri yang sering diceritakan Bejo?
·      Nilai sosial: Sambil jalan-jalan aku omong-omong dengannya.

8.        Novalia Amartha
·      Menggunakan majas dan kiasan: Kakiku meronta-ronta

9.        Siti Umairoh
·      Bahasa sulit dimengerti: Aku  melewati jalan Hantu sepulang dari rumah Bejo.

10.    Feby Dwi Lestari
·      Kata kurang baku: lolongan; melenceng.
                                                              





DAFTAR PUSTAKA
Putra. 2013. Pendekatan Pragmatik dalam Kajian Puisi. (online). (http://putra- p3tir.blogspot.com/2013/12/pendekatan-pragmatik-dalam-kajian- puisi.html, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).
Sigondang. 2011. Jenis-Jenis Kritik Sastra. (online). (http://www.sigodangpos.com/2011/09/jenis-jenis-kritik-sastra-dan.html, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).
Yusfin. 2011. Pemahaman Kritik Pragmatik dalam Novel. (online). (http://yusfimembaca.blogspot.com/2011/11/pemahaman-kritik- pragmatik-dalam-novel.html, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).
Yasni, Asri. 2012. Penerapan Pendekatan Pragmatik dalam Sastra. (online). (http://asriyasnur.blogspot.com/2012/01/penerapan-pendekatan-pragmatik- dalam.html?m=1, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).