Selasa, 06 September 2016

Resensi Novel Jatisaba

Atas Nama Pahlawan Devisa
Oleh: Dhani Susilowati


Novel Jatisaba
Judul     : Jatisaba
Penulis  : Ramayda Akmal
Penerbit : ICE 
Cetakan : Pertama, Februari 2011
Tebal     : iv + 340  halaman
ISBN     : 9789791852685


          Fenomena permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan sindikat perdagangan manusia seolah telah bersahabat dengan telinga. Reporter berita di acara televisi sibuk berkoar perihal nasib pahlawan devisa. TKI tidak lagi mendapat pekerjaan aman dengan gaji yang besar, tetapi kian hari pekerjaannya menjadi momok yang memicu tindak kekerasan, bahkan tak jarang berujung kematian.
            Oleh Ramayda Akmal, problematika semacam ini, dimanfaatkan sebagai ladang mengeruk imajinasi berbarengan dengan penyampaian faktual berdasar riset. Ramayda dalam novel ini memaparkan potret realita sosial di balik kedok pahlawan devisa. Di tangan penulis kelahiran Cilacap, permasalahan rumit  yang bersarang di masyarakat dikuliti secara tuntas dengan pemikiran yang cerdas.
Dengan segala miniatur persoalan sosial, penulis mengisahkan tokoh yang dielukan sebagai pahlawan devisa begitu dekat dengan ajalnya setiap kali mereka hendak melawan ketidakadilan. Ketidakberdayaan mereka atas hukum berawal dari proses legalisasi TKI yang tidak terpenuhi.
Bahkan mereka rela membiarkan batinnya diperbudak uang karena mereka berangkat dari kemiskinan. Tangan-tangan mereka yang tak berdosa dipaksa mengedarkan narkoba. Tubuh anggun wanita yang mestinya tertutup di keramaian dibiarkannya terbuka. Lalu, atas permintaan siapa para TKI berlaku tak semestinya jika bukan karena menyelamatkan hembusan napas dari hidungnya dan detak di jantungnya? Tak jarang, mereka pulang ke tanah kelahiran hanya sebatas nama.
            Pantas saja novel Jatisaba menjadi novel unggulan pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 2010. Pasalnya cerita yang diangkat oleh penulis benar-benar mencerminkan realita kehidupan yang nyata di tengah paradigma sosial masyarakat Indonesia. Tokoh yang diciptakan oleh Ramayda Akmal dalam novel Jatisaba seolah-olah membuka topeng kehidupan TKI yang mengatasnamakan pahlawan devisa di medan pertempurannya.
Kamu akan menemukan tokoh Mae yang dikisahkan sebagai penyalur TKI secara ilegal. Kamu pun pasti tersihir dengan lika-liku penjalanan hidupnya. Tindakan lihai seorang calo TKI memanfaatkan kenangan di kampung halamannya untuk mengeruk tumbal yang akan bertukar menjadi sumber penghidupannya. Meskipun setiap ia berkata semua hanyalah kebalikan dari kenyataan pahit yang dialaminya di negeri antah-berantah.
Lalu, kupastikan kau akan geleng-geleng kepala sembari menyumpahi sistem demokrasi di Indonesia. Hal itu disebabkan oleh penggambaran praktik money politic di Desa Jatisaba yang sengaja dipadukan dengan permasalahan ketenagakerjaan. Gencarnya kampanye pemilihan kepala desa pun berperan besar dalam upaya penyelasaian misi Mae di Jatisaba.
Suasana yang demikian, dimanfaatkan oleh tokoh Mae untuk menjerumuskan orang-orang terdekatnya di Jatisaba dengan modal kenangan. Tentu saja, meskipun ada keraguan dan kekhawatiran menjadi TKI, akan tetapi iming-iming memperoleh penghidupan yang layak untuk masyarakat desa yang dilanda kemiskinan menjadikan calon tumbal-tumbal Mae tertarik untuk mengikuti tawarannya.    
Konflik sosial khas masyarakat desa yang dihadirkan penulis dalam novel ini menjadi semakin menarik dengan imbuhan bahasa Jawa khas masyarakat Cilacap yang disisipkan dalam narasi maupun dialog antartokoh. Seperti kutipan berikut, “Mereka orang kita, Mae! Malim mencegah langkahku yang mulai terbirit-birit. Ternyata benar. Mereka dere dan jago-jagoku.” (Akmal, 2011:4). Gaya bercerita penulis benar-benar kuat dengan menghadirkan kata-kata yang berhasil memicu imajinasi pembaca.
            Novel ini tidak melulu membahas permasalahan TKI yang kian hari kian pelik dalam balutan persengketaan politik lokal. Diselingi dengan romansa, penulis berusaha menambah permasalahan lain yang tidak kalah menguras air mata. Sambil menikmati perjalanan hidupnya yang terus di ambang keputusasaan, Mae menemukan sesosok mata elang yang membangkitkan niatnya untuk mengais kenangan. Gao, sumber cinta dari masa lalu menyelinap melalui batas-batas kenangan yang telah dibangun sekian tahun lamanya sejak ia meninggalkan Jatisaba. Namun, kisah cintanya juga tak luput dari derita.
Terlepas dari penuturan Ramayda perihal kisah klasik pahlawan devisa tingkat desa, dalam novel ini terdapat satu halaman tanpa tinta. Kesalahan teknis pada halaman yang seharusnya tertulis angka 34 cukup meresahkan pembaca karena menyebabkan terputusnya ikatan pembaca dengan alur cerita, meskipun hanya sesaat.
Namun demikian, pendapat para ahli sastra yang dibubuhkan dalam sampul novel menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap pembaca untuk menjamah rangkaian cerita hingga tuntas. Seperti pernyataan Ahmad Tohari dalam sampul depan, “sebuah potret realita sosial yang dibuat dengan lensa tajam dan cerdas. Karya penulis muda berbakat ini mengungkap sisi lacur yang samar di tengah perubahan sosial kita. Mengesankan!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar