Selasa, 06 September 2016

Pendekatan Pragmatik

 TEORI SASTRA
Pendekatan Pragmatik
Dosen pengampu: Dr. Harjito, M. Hum.
 


Disusun Oleh:
Pipit Apriliana                         (15410225)
Prananing Meisya M.              (15410226)
Dhani Susilowati                     (15410227)


PROGDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PGRI SEMARANG
2015





Pendekatan Pragmatik

A.    Hakikat Pendekatan Pragmatik
Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra. Munculnya pendekatan pragmatik bertolak dari teori resepsi sastra dalam  pemahaman karya sastra yang merupakan reaksi terhadap kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pendekatan struktural. Sebab pendekatan struktural ternyata tidak mampu berbuat banyak dalam upaya membantu seseorang dalam menangkap dan memberi makna karya sastra. Pendekatan struktural hanya dapat menjelaskan permukaan dari teks sastra karena hanya berbicara tentang struktur atau unsur-unsur dalam karya sastra. Banyak segi lain yang diperlukan untuk lebih menjelaskan makna karya sastra. Untuk dapat menangkap segi-segi lain itu para pakar mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu pendekatan pragmatik.
Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka semakin baik karya sastra tersebut.
Pendekatan pragmatik mempertimbangkan impilkasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik, di antaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.

B. Pengertian Pendekatan Pragmatik Menurut para Ahli
Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra.
Sedangkan menurut para ahli mendefinisikan pendekatan pragmatik adalah sebagai berikut:
1.    Menurut Teeuw, 1994 teori pendekatan pragmatik adalah salah satu bagian ilmu sastra yang merupakan pragmatik kajian sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra.
2.    Relix Vedika (Polandia), pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang tak ubahnya artefak (benda mati) pembacanyalah yang menghidupkan sebagai proses konkritasi.
3.    Dawse dan User 1960, pendekatan pragmatik merupakan interpensi pembaca terhadap karya sastra ditentukan oleh apa yang disebut “horizon penerimaan” yang mempengaruhi kesan tanggapan dan penerimaan karya sastra.
Pendekatan ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat memberi kesenangan bagi pembacanya. Pemanfaatan pendekatan ini harus berhadapan dengan realitas konsep keindahan dan konsep nilai dedaktif.

C. Metode Pendekatan Pragmatik
Penelitian persepsi pembaca terhadap karya sastra dapat menggunakan beberapa metode pendekatan,antara lain pendekatan yang bersifat eksperimental, melalui karya sastra yang mementingkan karya sastra yang terikat pada masa tertentu ada pada golongan masyarakat tertentu.
1.        Kepada pembaca perorangan atau kelompok diminta membaca karya sastra, lalu sejumlah pertanyaan dalam angket yang berisi tentang tanggapan, kesan, penerimaan terhadap karya yang dibaca tersebut, dijawab oleh pembaca, data yang diperoleh akan dianalisis.
2.        Kepada pembaca perorangan atau kelompok diminta membaca karya sastra, kemudian ia diminta untuk menginterpretasikan karya sastra tersebut. Interpretasi-interpretasi yang dibuat oleh pembaca dianalisis secara kualitatif untuk melihat bagaimana penerimaan atau tanggapannya terhadap karya sastra.
3.        Kepada masyarakat tertentu diberikan angket untuk melihat persepsi mereka terhadap karya sastra, misalnya persepsi sekelompok kritikus terhadap karya sastra modern,  persepsi masyarakat tertentu terhadap karya sastra daerahnya sendiri.

D. Prinsip-prinsip Dasar Pendekatan Pragmatik
1.   Otonomi karya sastra dianggap tidak relevan dalam kajian karya sastra, karena terlalu menganggap karya sastra sebagai struktur yang otonom. Padahal karya sastra tersebut tidak mempunyai kewujudannya sendiri sampai dibaca. Karena itu untuk dapat memahami sebuah karya sastra, pendekatan pragmatik tidak terlalu terikat pada struktur sastra semata, melainkan juga kepada faktor yang ada pada diri pembaca secara kontekstual. Oleh karena itu, bentuk telaahnya kompleks daripada pendekatan struktural yang hanya tertuju pada struktur teks saja.
2.   Pendekatan pragmatik membuktikan bahwa  karya sastra sebagai artefak, pembacalah yang menghidupkannya melalui proses yang konkrit. Karya sastra hanya menyediakan etita atau kode makna, sedangkan makna itu sendiri diberikan oleh pembaca. Karya sastra tidak mengikat pembaca, tetapi menyediakan tempat yang kosong untuk diisi oleh pembaca. Maksudnya adalah bahwa teks sastra seperti puisi tidak pernah mempunyai makna yang terumus dengan sendirinya, sehingga diperlukan tindakan pembaca untuk merumuskannya.
3.   Pembaca bukanlah pribadi yang tetap dan sama, melainkan selalu berubah dan berbeda. Oleh karena itu,  pembaca dalam melakukan proses pemahaman dipengaruhi oleh horison penerimaannya, maka subjektivitas pembaca mungkin berbeda antara satu dengan lainnya. Itulah sebabnya teknik telaahnya pragmatis dan dialektik.
4.   Teks sastra selalu menyajikan ketidak pastiaan makna, sehingga memungkinkan pembaca untuk memaknai dan memahaminya secara terbuka lebar (Teeuw 1984; Junus 1985; Salden 1986; dan Jefferson & Robey 1988). Ketidakpastiaan itulah mengapa pangkal tolak telaah pendekatan pragmatik ini dalam mengapresiasi karya sastra pada persepsi pembaca

E. Karakteristik Pendekatan Pragmatik dalam Menelaah Karya Sastra
1. Asumsi dasar pendekatan pragmatik adalah bahwa karya sastra merupakan sesuatu yang bersifat artefak. Ia merupakan suatu benda yang belum mempunyai jiwa, dan baru mempunyai jiwa bila dinikmati atau dipahami oleh pembaca.
2. Dalam menelaah, unsur yang menjadi objek telaah mencakup seluruh unsur, baik fisik maupun unsur batin dan unsur-unsur lain yang dapat dijadikan acuan untuk mengkongkretkan makna yang abstrak.
3. Dasar pertimbangan dalam penentuan makna adalah perpaduan unsur intrinsik dengan unsur ekstrinsik serta faktor genetik dan pengalaman yang dipunyai pembaca.
4. Esensi karya sastra adalah makna setiap unsur, hubungan antara unsur dan keterpaduannya dihubungkan dengan konteks kesemestaan dan sistem kognisi pembaca.

F. Teks dan Analisis Teks
Teks Cerpen
Patung Perempuan
September 30, 2015  Sena Harjito  Sastra
Cerpen: Harjito

Aku  melewati jalan Hantu sepulang dari rumah Bejo.  Seperti  biasanya  aku  memperhatikan rumah yang semak belukarnya tidak teratur itu  yang sering disebut penduduk kampung sebagai rumah hantu.
Langit sedikit bergemuruh. Tampaknya hujan mau membasah. Tak ada bunyi  lonceng yang mendirikan bulu roma. Di kampung kami  tak ada lolongan serigala. Hanya kelepak sayap kelelawar mencari makan.
Ingatanku melayang ke tahun-tahun lampau.
Waktu aku masih sangat kecil rumah hantu belum berdiri.  Tempat itu masih lapangan rumput.  Aku bersama  teman-teman senang main layang-layang. Kakak-kakakku  lebih  suka  bermain  bola  volley.  Main volley aku tak bisa. Tanganku belum kuat. Terlalu lemah.
Sering-sering sehabis  memukul satu-dua  kali  aku mengaduh.  Tanganku  serasa terbakar  dan  panas.  Meski begitu,  aku  tak  jera. Kakak acap  jengkel sebab pukulanku   lebih  sering  melenceng  dari  arah  yang direncanakan.
Kami pun bermain sepak bola. Bal-balan. Tanpa sepatu. Pakai bola plastik. Bukan  bola yang  digunakan Pele. Bola plastik. Murah dan ringan bagi kaki.
Sehabis lelah bermain kami tiduran di tanah sembari menggigit batang-batang rumput. Bila bosan kami  mencari kupu-kupu atau kepik emas, binatang kecil yang  warnanya memikat.
Kami paling bangga membawa ketapel. Layaknya Tarzan  yang  jagoan, kami  mengetapel  burung gereja.  Sialan. Tak  pernah kena.  Malah karetnya sering membalik. Menyerempet  kena kening  kepala.
Kami juga memanjat pohon asam dan  menguliti buahnya.  Kalau  mujur kami  memperoleh sarang burung  beserta piyik, anak burung.  Anehnya,  selalu  gagal  tumbuh  besar. Terlanjur mati dahulu.
Di depan pintu rumah itu — mungkin  agak ke belakang sedikit — ada sebuah gua. Gua karang  yang lumutan. Batunya memang bukan batu biasa, tetapi batu karang. Hitam dan panjang. Bukan.  Bukan  gua yang menjurus ke  sungai, tempat di mana teman-teman suka berenang.  Bukan. Kami berkali-kali  memasukinya.  Kami  hapal  betul   segenap lekuk-liku  dan  coret-moret di dinding  karang.  Tak  ada tanda-tanda  menembus inti bumi. Apalagi menuju ke sungai  yang mengalir di sebelah sana.
Menurut  cerita  orang-orang  tua, daerah  ini  bekas  pantai.  Bekas laut. Lantaran laut makin surut, garis pantai  meninggalkannya bengong sendiri. Kemudian muncullah Gua Karang.
Ada  satu  lagi:  di pintu belakang  gua,  agak  ke sebelah  kanan  terdapat patung perempuan  berkain  sebatas dada. Kami menyebut patung perempuan itu  sebagai patung ibu. Gerak tangan ibu seolah tengah menggandeng anak  kecil,  tetapi si anak kecil pergi entah ke mana.
Kata orang-orang tua lagi: anak kecil putra ibu hilang terbawa gelombang laut. Ibu  tak  sempat menyelamatkan.  Ada siratan kesedihan   yang  terpancar  dari  wajah   ibu.  Sebuah kesedihan    yang   mampu menghilangkan gurat-gurat kecantikan.
Aku  sering digandeng  ibu.
Tiap kugandeng tangannya, selalu kurasakan sebuah kedamaian menjamah relung hati. Seperti es batu mendinginkan kerongkongan yang kering kerontang. Sambil jalan-jalan  aku omong-omong dengannya.
“Di mana anakmu?” aku ingin tahu.
Ia hanya memandangku.
“Ia sebesar aku?” desakku lagi.
Ia  jongkok.  Mensejajarkan dirinya  dan  memandang mataku lekat-lekat.
“Apakah ia mirip aku?”
Pertanyaanku tak dijawabnya.
Ia menjunjung tubuhku. Lantas, kami  berjalan bergandengan  menyusuri kembali bekas telapak kaki yang  tertinggal di pantai. Sesekali ombak  kecil menerpa dan membasahi kaki.
Angin   berhembus.  Pori-pori   kulitku   meremang. Benarkah rumah hantu sedemikian angkernya sebagaimana cerita orang?
Mengapa harus takut? Di antara teman-teman  bemain, akulah  yang  paling  berani  soal  hantu.  Aku   berani sendirian  jalan melewati kuburan di malam hari. Bejo terkencing-kencing  gara-gara kutinggal beberapa langkah.
Agak dag dig dug aku melangkah memasuki  halaman.
Menurut  penuturan  beberapa orang, tempat  ini  menyeramkan dan berbahaya. Sudah hampir  empat tahun terlantar. Ditinggalkan  si  pemilik  yang  tidak  kuat menghadapi  banyak godaan. Dilempari  batu,  diteror suara-suara  aneh, atau sakit-sakitan.  Pokoknya  ada saja  kemalangan  yang menimpa.
Baru  saja  aku  hendak membuka  pintu,  terdengar   suara  gemuruh. Luar biasa ribut bagai seribu gajah menghentaki bumi. Tanah berdebum-debum. Mungkinkah terjadi gempa atau  di luar turun  hujan deras. Sekonyong-konyong air datang bergulung-gulung. Menggulung tubuhku. Aku terseret.
Aku  tergagap. Apakah tanah  ini  tiba-tiba menjelma  kembali  menjadi  pantai? Kurasakan badan yang basah dan menggigil. Aku berteriak-teriak  minta tolong. Minta tolong sampai  tenggorokanku parau. Kakiku  meronta-ronta.
Yang paling aku takuti adalah air. Air. Aku tidak bisa berenang. Aku terseret   gelombang  air.   Malam tambah pekat. Langit tambah gelap. Siapa bakal peduli lolonganku. Dalam  keremangan, sebuah tangan  terulur.  Sebuah tangan  yang  lembut  dan lentik. Sepertinya aku sangat mengenal tangan itu.  Ataukah tangan peri yang sering diceritakan Bejo?
Beberapa  tegukan air membuatku  megap-megap. Aku timbul tenggelam dalam pusaran air. Kakiku begitu  kaku. Sebentar  lagi aku akan mati. Aku masih  berharap  bahwa ini  hanya  mimpi buruk ketika sebuah kayu  besar menghantam lenganku.
*****
Banjir bandang datang. Demikian  berita  posko mengabarkan. Satu orang selamat dari amukan air bah. Ia ditemukan bersama patung perempuan di  tempat  ketinggian. Tersangkut pada  sebatang  pohon besar yang tumbang.
Orang yang selamat itu adalah aku.


Analisis Teks
No
Nama
Profesi
Tanggapan Terhadap Teks
Kelebihan
Kelemahan
Pesan dan nilai
1
Zahratul Wahdati
Mahasiswa PBSI
·      Menggunakan simbol
·      Diksi menarik
·      Cerita sulit dipahami
·      Jangan mudah menyerah
·      Nilai budaya (mistis)
2
Ajeng Ayuningtyas
Mahasiswa BK
·      Akhir cerita susah ditebak
·      Bahasa mudah dipahami
·      Akhir cerita membingungkan
·      Jadilah pemberani
·      Nilai sosial
3
Siti Hamidah
Karyawati
·      Bahasa mudah dipahami
·      Cerita sulit dipahami
·      Memiliki rasa keingintahuan yang tinggi
·      Nilai ekonomi
4
Dwi Rachmadani
Mahasiswa PBSI
·      Akhir cerita mengesankan
·      Cerita membingungkan
·      Alur cerita aneh
·      Tidak melupakan kenangan
·      Nilai budaya (mistis)
5
Desi Wismasari
Asdos BK
·      Bahasa yang digunakan mudah dipahami
·      Kata-kata sedikit kasar
·      Memiliki rasa penasaran yang tinggi
·      Nilai budaya (mistis)
6
Resa
Mahasiswa Matematika
·      Kata-kata mudah dipahami
·      Jalan cerita membingungkan
·      Boros kata
·      Jangan takut terhadap hal-hal mistis
7
Ginanjar
Mahasiswa TI
·      Jalan cerita susah ditebak
·      Cerita kurang logis
·      Hilangkan rasa takut
·      Nilai sosial
8
Novalia Amartha
Mahasiswa PBSI
·      Banyak menggunakan majas dan kiasan
·      Bahasa sulit dipahami
·      Milikilah jiwa pemberani
9
Siti Umairoh
Mahasiswa PBSI
·      Cerita menarik dan tidak mudah ditebak
·      Bahasa yang digunakan sulit dimengerti
·      Jadilah berani, tetapi jangan membahaya-kan diri sendiri
10
Feby Dwi Lestari
Mahasiswa PBSI
·      Cerita mudah dipahami dan menarik untuk dibaca
·      Terdapat kata yang kurang baku
·      Jadilah pemberani


Bukti tanggapan:
1.    Zahratul Wahdati
·      Menggunakan simbol: patung perempuan disimbolkan sebagai seorang ibu.
·      Diksi menarik: Tampaknya hujan mau membasah; Sebuah kesedihan yang   mampu menghilangkan gurat-gurat kecantikan; Tanah berdebum-debum; Minta tolong sampai  tenggorokanku parau. Kakiku  meronta-ronta.
·      Tisak mudah menyerah: Tanganku  serasa terbakar  dan  panas.  Meski begitu,  aku  tak  jera.
·      Nilai budaya (mistis): Angin   berhembus.  Pori-pori   kulitku   meremang. Benarkah rumah hantu sedemikian angkernya sebagaimana cerita orang?

2.    Ajeng Ayuningtyas
·      Bersifat pemberani: Mengapa harus takut? Di antara teman-teman  bemain, akulah  yang  paling  berani  soal  hantu.
·      Nilai sosial: Aku bersama teman-teman senang main layang-layang.

3.    Siti Hamidah
·      Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi:
“Di mana anakmu?” aku ingin tahu.
Ia hanya memandangku.
“Ia sebesar aku?” desakku lagi.
Ia  jongkok.  Mensejajarkan dirinya  dan  memandang mataku lekat-lekat.
“Apakah ia mirip aku?”
Pertanyaanku tak dijawabnya
·      Nilai ekonomis: Bola plastik. Murah dan ringan bagi kaki.

4.    Dwi Rachmadani
·      Tidak melupakan kenangan atau masa lalu: Ingatanku melayang ke tahun-tahun lampau.
·      Nilai budaya (mistis): Aku  melewati jalan Hantu sepulang dari rumah Bejo.

5.        Desi Wismasari
·      Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi: Benarkah rumah hantu sedemikian angkernya sebagaimana cerita orang?
·      Nilai budaya (mistis): Menurut  penuturan beberapa orang, tempat  ini  menyeramkan dan berbahaya.
·      Menggunakan kata-kata yang sedikit kasar: Sialan. Tak  pernah kena. 

6.        Resa
·      Boros kata: Sering-sering sehabis  memukul satu-dua  kali  aku mengaduh. 
·      Jangan takut terhadap hal mistis: Mengapa harus takut? Di antara teman-teman  bemain, akulah  yang  paling  berani  soal  hantu. 

7.        Ginanjar
·      Cerita kurang logis: Apakah tanah  ini  tiba-tiba menjelma  kembali  menjadi  pantai? Kurasakan badan yang basah dan menggigil; Ataukah tangan peri yang sering diceritakan Bejo?
·      Nilai sosial: Sambil jalan-jalan aku omong-omong dengannya.

8.        Novalia Amartha
·      Menggunakan majas dan kiasan: Kakiku meronta-ronta

9.        Siti Umairoh
·      Bahasa sulit dimengerti: Aku  melewati jalan Hantu sepulang dari rumah Bejo.

10.    Feby Dwi Lestari
·      Kata kurang baku: lolongan; melenceng.
                                                              





DAFTAR PUSTAKA
Putra. 2013. Pendekatan Pragmatik dalam Kajian Puisi. (online). (http://putra- p3tir.blogspot.com/2013/12/pendekatan-pragmatik-dalam-kajian- puisi.html, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).
Sigondang. 2011. Jenis-Jenis Kritik Sastra. (online). (http://www.sigodangpos.com/2011/09/jenis-jenis-kritik-sastra-dan.html, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).
Yusfin. 2011. Pemahaman Kritik Pragmatik dalam Novel. (online). (http://yusfimembaca.blogspot.com/2011/11/pemahaman-kritik- pragmatik-dalam-novel.html, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).
Yasni, Asri. 2012. Penerapan Pendekatan Pragmatik dalam Sastra. (online). (http://asriyasnur.blogspot.com/2012/01/penerapan-pendekatan-pragmatik- dalam.html?m=1, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).


1 komentar: