Selasa, 06 September 2016

Cerpen Arlena dalam Lentera (Buletin Keris edisi 21, UKM KIAS UPGRIS)

Arlena dalam Lentera
Oleh: Dhani Susilowati

“Argh sial!”
Arlina terpaku dalam diam. Angannya mulai berpadu dengan petang. Nanar ditatapnya seisi ruang, pun imajinya mulai liar menerawang seberkas bayang. Pecahan kenangan diam-diam menyeruak dalam ingatan. Hitam pada mulanya. Namun, di antara gelap dia melihat seorang wanita paruh baya menggali tanah di belakang rumahnya.
“Lin, kenapa lampunya kau biarkan padam?” ucap Gema sembari membuka pintu kamar calon istrinya.
“Biarlah, kali ini saja, aku hanya ingin menikmati malam dalam petang,” cercanya.
Gema, tentu mengiyakan pinta kekasihnya, sambil lalu menutup pintu. Dia rasakan ada keganjalan dalam rona wajah Arlina akhir-akhir ini. Wajar, harinya disibukan dengan persiapan acara sakral dalam hidupnya. Pernikahan. Ini bukan sekadar penyatu kisah asmara, melainkan perkawinan dua adat berbeda.
Di sudut ruang, Arlina masih bersandar pada diding batas kenangan. Beralaskan keramik yang sama hitam.
“Maaf, Len, aku tak mungkin menghadirkanmu kembali,” bisik Arlina.
“Kumohon, jangan ambil Gema dariku,” tangisnya semakin jadi.
Arlina tak mungkin bertukar peran dengan sosok serupa, tetapi tak sama rasa. Malah, ia bersikukuh melenyapkan Arlena. Namun, kau tahu? Seberapa keras upaya Arlina, saraf otaknya sendirilah yang mati. Perlahan, sebagian realita dalam chip memori hadiah Tuhan, memudar dalam diam.
Mungkin, kau penasaran, seburuk apakah sosok wanita berparas ayu itu? Hingga kehadiranya menjadi bencana dalam ritme kehidupan Arlina. Kau tak akan melihatnya nyata. Jadi, kusarankan agar kau berimajinasi tentangnya. Tatanan rambutnya biasa tergerai rapi dengan jepit kecil berwarna hitam di atas kening. Rambutnya hanya sebatas bahu. Tubuhnya tinggi semampai, semakin ayu jika berpadu dengan rupanya yang manis berkat lesung pipit di pipi kirinya.
Arlena masih bisu dalam penjara sebuah lentera yang menunggu nyala. Dia terus menanti pengunjung setianya. Biasanya dia diundang untuk mengisi ruang kesepian sesosok wanita yang serupa tubuhnya. Wanita itu telah menjanjikan sebuah dunia nyata.
“Aku tak ingin di sini, Lin,” rengeknya pada Arlina.
“Tapi tempatmu di sini, Len,” tukas Arlina kembali menegaskan.
“Kenapa dunia berlaku tak adil padaku? Seperti kau yang membiarkanku busuk dalam ruang gelap ini,” ucapnya terhenti seketika, ”Aku ingin hidup, sama sepertimu,” nada suaranya parau
Perasaan iba, tampak membolak-balikan hati Arlina. Hingga ia terlena. Dan membuka celah jiwanya untuk diisi sosok kembarannya. Lalu, Arlena seperti dihadiahkan tahta. Ia berkuasa ketika Arlina menyalakan lentera. Ruhnya hidup diantara cahaya api itu.
Arlena ingat betul, bagaimana ia mengenal pria tegap bernama Gema. Pemuda kelahiran Sunda dengan segudang talenta. Sayang, Gema tak pernah punya segelintir nyali untuk menunjukan semuanya. Entahlah, itu membuat Arlena geram. Begitulah, hingga ia menjerumuskan ruhnya di setiap dunia Gema.
“Kau harus jadi penulis handal, baru aku mau menikah denganmu,” desak Arlena.
Lantas Gema menimpalinya, “Sayang, kau ini selalu memaksaku dengan trik-trik jitu milikmu,” tawanya pecah seketika. Arlena hanya tersenyum kecut.
“Sudahlah, jangan hanya tertawa,” raut wajahnya masam seketika.
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Harusnya kau tahu, pikir saja sendiri. Malah, aku baru saja berpikir ingin menyematkan gelar doktor di depan namamu, Tentu itu tak akan bisa, jika kau tak mengubah caramu,” Arlena memaparkannya.
***
Begitulah hidup Gema, dikendalikan bayang Arlina secara paksa. Namun, itu yang menumbuhkan perasaan cinta. Perlahan, tetapi selalu berkembang. Seperti benih yang menghadirkan pohon rindang. Memori ingatannya dijejali jutaan kenangan yang semakin sesak berdesakan.
Wanita dari tanah Jawa itu, mengenakan baju dengan nuansa adat di hari pernikahannya. Tentu, menjadi busana pengantin terindah. Pun Gema, ia tampak gagah. Jiwanya dibalut aura wibawa, yang kemudian berpadu dalam adat wanitanya. Tak mau kalah mencolok mata, adat Sunda pun turut serta dalam pernikahan pertama mereka.
“Sayang, sekarang kau resmi menjadi Nyonya Gema. Gelar doktor dan ketiga buku karyaku, ya, semua itu untukmu, Lin,” bisiknya di antara ribuan tamu undangan.
Arlina seperti tertohok tepat di dadanya. Bukan tertuju pada bisik mesra Gema. Ada seberkas bayang melintas di kedua matanya. Kau tahu? Arlena hadir dengan riasan  yang tak kalah anggun dengan pengantin wanitanya.
“Seandainya ada dua wanita dengan wajah dan gaun yang sama denganku, siapa yang akan kau pilih sebagai Nyonya Gema?”
“Kau jangan bercanda, Sayang,” pekik Gema heran.
“Biar tidak tegang, Sayang,” Arlina mencoba menetralkan suasana. Lalu kembali melanjutkan, “Bukankah aku dapat mengenalmu dari candaan kita?”
“Aku tahu kau tidak sedang bercanda, tapi mamaksaku untuk memilihmu, bukan?” Dia melirik sambil menyunggingkan senyuman.
Telapak tangan ribuan undangan saling berganti bersentuhan dengan jemari Arlina, pun Gema. Pikirnya semakin buyar. Arlena yang tadi datang, menghilang dalam pandang. Biasanya Arlena hanya datang jika ia pinta, tapi hari ini, Arlena yang dikenalnya berbeda.
***
            Pasangan mudi itu, tampak bergairah di antara remang-remang cahaya lentera penghias malam pertama. Gema memantapkan iktikadnya sebagai pria. Sedang Arlina tampak menunggu belaian lelakinya. Saling bertataplah kedua mata berptasangka cinta. Arlina yang mengenakan piama, terlihat molek memamerkan kulit putihnya. Sayang, cantiknya tampak samar di atas ranjang.
            Saat mereka tengah masyuk, Arlena kembali menampakkan dirinya dengan piama yang sama. Kali ini dia tidak hanya tersenyum. Namun, dia begitu lancang menggauli suaminya. Tercengang bukan kepalang, ketika Arlina melihat Gema berpaling, lalu bercumbu dengan wanita itu. Masih di ranjang yang sama, Arlina tak mampu bersuara barang sekata.
            Ia berpaling sambil kembali mengenakan piama. Kemudian diraihnya vas bunga yang tertata di meja. Melayang, seketika menghantam mahkota wanita bangsat itu.
            “Hentikan, Lin! Apa yang kau lakukan?” teriak Gema sambil menahan sakitnya.
            “Matilah kau, Len!” Arlina berseri sebelum menarik pelatuk bedil yang tertuju tepat di dada Arlena.
            Tidak. Semua itu tidak mengena sedikitpun di tubuh Arlena. Vas bunga dan pistol yang telah disiapkannya di bawah bantal untuk berjaga, tak bisa membunuh wanita jalang itu. Selamanya dia akan mengganggunya, berkeliaran di matanya dan menggerogoti ingatannya dalam dunia nyata.
            “Jangan mencoba membunuhku lagi, Lin,” ucapnya sebelum dia bersembunyi di balik petang.
***
            Sekujur tubuh Arlina gemetar, wajahnya pucat pasi tanpa ekspresi. Kelu lidahnya tidak mampu membahasakan jiwa. Sesekali dia bersuara, hanya teriak histeris yang menggemparkan seisi rumah sakit tempatnya dirawat.
Di tempat itu, dia sering dipaksa menelan bermacam pil, mesti tidak dia suka. Selalu saja dimaki suster galak ketika dia menolak. Kulitnya sering bersentuhan dengan jarum suntik berisikan cairan penenang, mana kala ia berontak tak terkendali.
Dia kerap ditanya hal-hal aneh, kata Gema, yang bertannya adalah seorang dokter. Maka dia diminta untuk menjawab saja.
“Arlina, apakah Arlena itu temanmu?” tanya seorang pria dengan pakaian putuh sebagai baju kerjanya.
“Ssstt...diam, aku tak ingin dia datang.”
“Apa Arlena itu menakutkan?” tukas pria itu.
“Kau ini, kubilang jangan sebut namanya, nanti dia bangun,” pintanya pada dokter.
“Aku bisa membunuhnya, tapi kau ceritakan dulu, seperti apa dia?” bujuknya.
Arlena selalu ada di kepala wanita itu, sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia sendiri tidak tahu dari mana Arlena berasal. Yang jelas dia muncul tiba-tiba dari balik tanah di belakang rumahnya. Waktu kecil, ia sering menemaninya bermain boneka. Katanya dia tak punya teman, sehingga menemani Arlina yang juga kesepian. Jika dipandang, wajahnya sama seperti wajah Arlina, olehnya dia menyematkan nama Arlena untuk gadis kecil yang serupa dengannya.
“Arlena tak suka gelap, dia juga tak menyukai cahaya yang terlalu terang. Jadi aku menyalakan lentera setiap kali aku ingin bermain dengannya,” jelas Arlina dengan polos.
Pantas saja Arlina terganggu jiwanya. Baru-baru ini, tersiar berita di surat kabar. Pembunuhan sadis yang dilakukan seorang ibu kepada salah satu putri kembarnya. Orang tua tunggal itu membunuh lantaran tak mampu menafkahi kedua putrinya. Simpel saja, dia hanya mengubur bocah berumur enam tahun di kebun belakang rumah, setelah memberikan obat tidur pada minuman anaknya. Peristiwa ini, baru terkuak setelah si ibu merahasiakannya selama tujuh belas tahun.
 Di ambang pintu ruang Arlina diasingkan dari keramaian, Gema datang dengan serangkaian mawar.
“Apa kabar, Sayang?”

Semarang,  21 Maret 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar