Arlena dalam Lentera
Oleh:
Dhani Susilowati
“Argh
sial!”
Arlina
terpaku dalam diam. Angannya mulai berpadu dengan petang. Nanar ditatapnya
seisi ruang, pun imajinya mulai liar menerawang seberkas bayang. Pecahan
kenangan diam-diam menyeruak dalam ingatan. Hitam pada mulanya. Namun, di
antara gelap dia melihat seorang wanita paruh baya menggali tanah di belakang
rumahnya.
“Lin,
kenapa lampunya kau biarkan padam?” ucap Gema sembari membuka pintu kamar calon
istrinya.
“Biarlah,
kali ini saja, aku hanya ingin menikmati malam dalam petang,” cercanya.
Gema,
tentu mengiyakan pinta kekasihnya, sambil lalu menutup pintu. Dia rasakan ada
keganjalan dalam rona wajah Arlina akhir-akhir ini. Wajar, harinya disibukan dengan
persiapan acara sakral dalam hidupnya. Pernikahan. Ini bukan sekadar penyatu
kisah asmara, melainkan perkawinan dua adat berbeda.
Di
sudut ruang, Arlina masih bersandar pada diding batas kenangan. Beralaskan
keramik yang sama hitam.
“Maaf,
Len, aku tak mungkin menghadirkanmu kembali,” bisik Arlina.
“Kumohon,
jangan ambil Gema dariku,” tangisnya semakin jadi.
Arlina
tak mungkin bertukar peran dengan sosok serupa, tetapi tak sama rasa. Malah, ia
bersikukuh melenyapkan Arlena. Namun, kau tahu? Seberapa keras upaya Arlina,
saraf otaknya sendirilah yang mati. Perlahan, sebagian realita dalam chip
memori hadiah Tuhan, memudar dalam diam.
Mungkin,
kau penasaran, seburuk apakah sosok wanita berparas ayu itu? Hingga kehadiranya
menjadi bencana dalam ritme kehidupan Arlina. Kau tak akan melihatnya nyata.
Jadi, kusarankan agar kau berimajinasi tentangnya. Tatanan rambutnya biasa
tergerai rapi dengan jepit kecil berwarna hitam di atas kening. Rambutnya hanya
sebatas bahu. Tubuhnya tinggi semampai, semakin ayu jika berpadu dengan rupanya
yang manis berkat lesung pipit di pipi kirinya.
Arlena
masih bisu dalam penjara sebuah lentera yang menunggu nyala. Dia terus menanti
pengunjung setianya. Biasanya dia diundang untuk mengisi ruang kesepian sesosok
wanita yang serupa tubuhnya. Wanita itu telah menjanjikan sebuah dunia nyata.
“Aku
tak ingin di sini, Lin,” rengeknya pada Arlina.
“Tapi
tempatmu di sini, Len,” tukas Arlina kembali menegaskan.
“Kenapa
dunia berlaku tak adil padaku? Seperti kau yang membiarkanku busuk dalam ruang
gelap ini,” ucapnya terhenti seketika, ”Aku ingin hidup, sama sepertimu,” nada
suaranya parau
Perasaan
iba, tampak membolak-balikan hati Arlina. Hingga ia terlena. Dan membuka celah
jiwanya untuk diisi sosok kembarannya. Lalu, Arlena seperti dihadiahkan tahta.
Ia berkuasa ketika Arlina menyalakan lentera. Ruhnya hidup diantara cahaya api
itu.
Arlena
ingat betul, bagaimana ia mengenal pria tegap bernama Gema. Pemuda kelahiran
Sunda dengan segudang talenta. Sayang, Gema tak pernah punya segelintir nyali
untuk menunjukan semuanya. Entahlah, itu membuat Arlena geram. Begitulah,
hingga ia menjerumuskan ruhnya di setiap dunia Gema.
“Kau
harus jadi penulis handal, baru aku mau menikah denganmu,” desak Arlena.
Lantas
Gema menimpalinya, “Sayang, kau ini selalu memaksaku dengan trik-trik jitu
milikmu,” tawanya pecah seketika. Arlena hanya tersenyum kecut.
“Sudahlah,
jangan hanya tertawa,” raut wajahnya masam seketika.
“Lalu
aku harus bagaimana?”
“Harusnya
kau tahu, pikir saja sendiri. Malah, aku baru saja berpikir ingin menyematkan
gelar doktor di depan namamu, Tentu itu tak akan bisa, jika kau tak mengubah
caramu,” Arlena memaparkannya.
***
Begitulah
hidup Gema, dikendalikan bayang Arlina secara paksa. Namun, itu yang
menumbuhkan perasaan cinta. Perlahan, tetapi selalu berkembang. Seperti benih
yang menghadirkan pohon rindang. Memori ingatannya dijejali jutaan kenangan
yang semakin sesak berdesakan.
Wanita
dari tanah Jawa itu, mengenakan baju dengan nuansa adat di hari pernikahannya.
Tentu, menjadi busana pengantin terindah. Pun Gema, ia tampak gagah. Jiwanya
dibalut aura wibawa, yang kemudian berpadu dalam adat wanitanya. Tak mau kalah
mencolok mata, adat Sunda pun turut serta dalam pernikahan pertama mereka.
“Sayang,
sekarang kau resmi menjadi Nyonya Gema. Gelar doktor dan ketiga buku karyaku,
ya, semua itu untukmu, Lin,” bisiknya di antara ribuan tamu undangan.
Arlina
seperti tertohok tepat di dadanya. Bukan tertuju pada bisik mesra Gema. Ada
seberkas bayang melintas di kedua matanya. Kau tahu? Arlena hadir dengan
riasan yang tak kalah anggun dengan
pengantin wanitanya.
“Seandainya
ada dua wanita dengan wajah dan gaun yang sama denganku, siapa yang akan kau
pilih sebagai Nyonya Gema?”
“Kau
jangan bercanda, Sayang,” pekik Gema heran.
“Biar
tidak tegang, Sayang,” Arlina mencoba menetralkan suasana. Lalu kembali
melanjutkan, “Bukankah aku dapat mengenalmu dari candaan kita?”
“Aku
tahu kau tidak sedang bercanda, tapi mamaksaku untuk memilihmu, bukan?” Dia melirik
sambil menyunggingkan senyuman.
Telapak
tangan ribuan undangan saling berganti bersentuhan dengan jemari Arlina, pun
Gema. Pikirnya semakin buyar. Arlena yang tadi datang, menghilang dalam
pandang. Biasanya Arlena hanya datang jika ia pinta, tapi hari ini, Arlena yang
dikenalnya berbeda.
***
Pasangan
mudi itu, tampak bergairah di antara remang-remang cahaya lentera penghias
malam pertama. Gema memantapkan iktikadnya sebagai pria. Sedang Arlina tampak
menunggu belaian lelakinya. Saling bertataplah kedua mata berptasangka cinta.
Arlina yang mengenakan piama, terlihat molek memamerkan kulit putihnya. Sayang,
cantiknya tampak samar di atas ranjang.
Saat mereka tengah masyuk, Arlena
kembali menampakkan dirinya dengan piama yang sama. Kali ini dia tidak hanya
tersenyum. Namun, dia begitu lancang menggauli suaminya. Tercengang bukan
kepalang, ketika Arlina melihat Gema berpaling, lalu bercumbu dengan wanita
itu. Masih di ranjang yang sama, Arlina tak mampu bersuara barang sekata.
Ia berpaling sambil kembali
mengenakan piama. Kemudian diraihnya vas bunga yang tertata di meja. Melayang,
seketika menghantam mahkota wanita bangsat itu.
“Hentikan, Lin! Apa yang kau
lakukan?” teriak Gema sambil menahan sakitnya.
“Matilah kau, Len!” Arlina berseri
sebelum menarik pelatuk bedil yang tertuju tepat di dada Arlena.
Tidak. Semua itu tidak mengena
sedikitpun di tubuh Arlena. Vas bunga dan pistol yang telah disiapkannya di
bawah bantal untuk berjaga, tak bisa membunuh wanita jalang itu. Selamanya dia
akan mengganggunya, berkeliaran di matanya dan menggerogoti ingatannya dalam
dunia nyata.
“Jangan mencoba membunuhku lagi,
Lin,” ucapnya sebelum dia bersembunyi di balik petang.
***
Sekujur tubuh Arlina gemetar,
wajahnya pucat pasi tanpa ekspresi. Kelu lidahnya tidak mampu membahasakan
jiwa. Sesekali dia bersuara, hanya teriak histeris yang menggemparkan seisi
rumah sakit tempatnya dirawat.
Di
tempat itu, dia sering dipaksa menelan bermacam pil, mesti tidak dia suka.
Selalu saja dimaki suster galak ketika dia menolak. Kulitnya sering bersentuhan
dengan jarum suntik berisikan cairan penenang, mana kala ia berontak tak
terkendali.
Dia
kerap ditanya hal-hal aneh, kata Gema, yang bertannya adalah seorang dokter.
Maka dia diminta untuk menjawab saja.
“Arlina,
apakah Arlena itu temanmu?” tanya seorang pria dengan pakaian putuh sebagai
baju kerjanya.
“Ssstt...diam,
aku tak ingin dia datang.”
“Apa
Arlena itu menakutkan?” tukas pria itu.
“Kau
ini, kubilang jangan sebut namanya, nanti dia bangun,” pintanya pada dokter.
“Aku
bisa membunuhnya, tapi kau ceritakan dulu, seperti apa dia?” bujuknya.
Arlena
selalu ada di kepala wanita itu, sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Dia sendiri tidak tahu dari mana Arlena berasal. Yang jelas dia muncul
tiba-tiba dari balik tanah di belakang rumahnya. Waktu kecil, ia sering
menemaninya bermain boneka. Katanya dia tak punya teman, sehingga menemani
Arlina yang juga kesepian. Jika dipandang, wajahnya sama seperti wajah Arlina,
olehnya dia menyematkan nama Arlena untuk gadis kecil yang serupa dengannya.
“Arlena
tak suka gelap, dia juga tak menyukai cahaya yang terlalu terang. Jadi aku
menyalakan lentera setiap kali aku ingin bermain dengannya,” jelas Arlina
dengan polos.
Pantas
saja Arlina terganggu jiwanya. Baru-baru ini, tersiar berita di surat kabar.
Pembunuhan sadis yang dilakukan seorang ibu kepada salah satu putri kembarnya.
Orang tua tunggal itu membunuh lantaran tak mampu menafkahi kedua putrinya.
Simpel saja, dia hanya mengubur bocah berumur enam tahun di kebun belakang
rumah, setelah memberikan obat tidur pada minuman anaknya. Peristiwa ini, baru
terkuak setelah si ibu merahasiakannya selama tujuh belas tahun.
Di ambang pintu ruang Arlina diasingkan dari
keramaian, Gema datang dengan serangkaian mawar.
“Apa
kabar, Sayang?”
Semarang, 21 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar