Kamis, 05 November 2015

Cerpen Teenlit, Bipolar


Bipolar
Dhani Susilowati

“Bim, gimana tempat ini bagus nggak?” tanyaku.
“Kamu lupa panggilan biasa kita, hah!” suaranya agak tinggi, tatapanya tajam.
“Cuma masalah gini, kamu marah?” Aku bingung.
“Udah kita pulang aja!” Bima menarik tanganku, kasar.
Akhir-akhir ini tingkah Bima aneh. Perlakuannya kasar. Sering marah hanya karena hal yang sepele. Dia marah ketika Aku lupa mengenakan jam tangan yang dia berikan. Marah ketika di Restaurant tidak  berselera makan. Tidak cocok dengan warna baju yang Aku kenakan, dia marah.
***
            Ponselku berdering semakin keras. Lalu Aku  tergesa berlari meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang. Nafasku sempat terengah.
            “Kenapa lama banget sih angkat teleponya?” suara Bima meninggi.
            “Maaf  Sayang, aku baru bantuin Mama,” Aku menjelaskan pelan.
            “Kamu emang selalu kayak gitu, aku bosen dengernya,” dia mulai marah.
            “Bim, kamu nyadar nggak sih, sebenernya yang lebih ngebosenin itu sikap kamu.”
            “Ya udah mulai sekarang kita putus aja Mita,” tut tut tut.
Dadaku seketika sesak. Bima sangat berbeda, Dia membuatku menyerah akan cinta yang sudah kupertahankan beberapa tahun ini. Mataku sembam, air mata tak bisa lagi disembunyikan.
***
            Aku menenteng ransel dipundakku. Kakiku sudah lemas digerakkan. Hari ini tak seperti kemarin, masih tertawa bersama Bima yang berjalan tepat disampingku. Dia menggandeng erat jemariku. Entahlah pikiranku kacau.
            Langkahku terhenti saat aku menyadari ada seseorang yang mengiring langkahku. Bima, Dia tanpa permisi menarik tanganku. Aku hanya diam tanpa berbuat. Dia menarikku hingga aku duduk, ia keluar menutup pintu mobinya lalu masuk kembali dan duduk tepat di sampingku. Aku masih diam tak mengerti. Bima menatap erat wajahku, semakin lekat. Dia memelukku, erat. Kali ini benar-benar berbeda dengan sifat kasar yang membuatku penat.
            Menangis, itu yang Bima lakukan. Memohon kita bisa seperti dulu menciptakan berribu kenangan. Aku tak punya kekuatan. Selain menjawab “Iya” untuk sebuah permintaan. Dia terlihat girang, begitupun aku, tak bisa menahan senyuman.
            Hari berikutnya aku melihat sisi lain dari Bima yang akhir-akhir ini sering marah. Dia terlihat sangat pintar, aktif di kelas. Beberapa kali mengajakku bercanda, sangat menyenangkan. Tatapanya terasa nyaman ketika kupandang. Lagi-lagi aku mulai membangun setumpuk  harapan. Menanti sebuah kisah bahagia akan segera terulang.
***
            Genap seminggu Aku menyandang rasa nyaman ketika kusandarkan kepalaku di bahunya. Serasa lengkap bahagiaku ketika setiap malam selalu kudengarkan denting petikan gitar. Tapi malam ini ponselku tak berdering sama sekali. Khawatir, iya. Lalu kuketik sederet kata pada layar ponsel pintarku. Lama kutunggu tak ada balas pesan darinya. Cukup lama Aku diam hanya untuk memikirkan. Seketika ada Tante Reyna dibenakku. Ah! Sudah lama Aku tak mengunjungi ibu dari kekasihku.
            Sebuah bingkisan sengaja tidak kulupakan. Segera saja aku melaju dengan sepeda motorku. Kupastikan kecepatan masih dalam taraf aman. Tiba-tiba saja jantungku agak berdegup kencang. Entahlah apa reaksi ibu mertua nanti. Kuharap Ia menyambutku dengan senyum di bibirnya.
            Tok tok tok
Lama sekali tak ada sahutan. Aku sedikit bingung. Kucoba mengetuk lagi. Menelpon Bima, tapi tak ada jawaban. Praaang... Kudengar suara itu dari dalam. Wanita itu menangis, tidak salah lagi itu suara Tante Reyna.
            “Tante Rey!” teriakku seraya mengetuk pintu, makin keras.
Aku menunggu cukup lama. Akhirnya pintu itu terbuka.
            “Mita, ayo masuk Nak!” ajaknya pelan.
Aku bingung apa yang harus kukatakan. Aku khawatir tapi aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan kekhawatiranku. Suara yang akan kugunakan serasa menghilang. Aku diam.
            “Mit, Bima marah sama Tante, gara-gara Tante nggak kasih ijin buat nemuin kamu malem ini,” jelasanya sambil menundukkan kepala.
            “Sekarang Bima mana Tan?” tanyaku pelan.
            “Dia tidur, barusan Tante kasih obat penenang. Tante sering kewalahan kalo Bima lagi ngalamin fase depresi kayak gini,” cercanya sambil menampakkan rona sendu.
            “Sebenarnya Bima kenapa Tan?” Aku masih menerka.
            “Setahun yang lalu dia divonis kena penyakit bipolar. Ya beginilah kalo Dia sedang mengalami fase depresi. Bantu  Tante, setidaknya 2 Minggu hingga fase ini berakhir. Tante takut kalau Bima mencoba bunuh diri.”
Tangisnya seolah mengajak air mataku menyeruak tak tertahan. Aku baru tahu ada satu penyakit yang membuat kepribadian  Bima berubah. Dia yang setiap saat harus menelan obat penenang. Wajah ibu muda yang kehilangan senyuman. Semua terbayang di benakku. Sementara yang kulakukan selama ini hanya menyalahkan Bima. Aku berjanji pada diriku sendiri, pasti akan kutemani kekasihku hingga pneyakit itu pergi.
***
Hari ini aku memutuskan tidak pergi ke sekolah. Bahkan Aku masih memandangi tubuh Bima tergeletak di ranjangnya. Semalam suntuk aku tak tidur, hanya sibuk memandang wajahnya yang pulas tertidur. Hanya menggenggam erat jemarinya yang lentur.
“Kamu ngapain disini?” sentaknya sembari menjauhkan jarinya dengan jemariku.
Aku menatapnya dalam “ Bim-bim Sayang, kamu tenang ya!”
Tiba-tiba Dia luluh dengan kata-kataku. Tatapannya tak lagi tajam, namun enak dipandang.
“Aku sayang banget sama kamu Mit, jangan tinggalin aku ya!” pintanya.
Dia memelukku. Aku diam terpaku. Tiba-tiba Tante Reyna datang dari balik pintu.
            “Mama ngapain sih ke sini. Pergi sana!” Dia membentak Tante Reyna.
Segera Dia enyah dari pelukanku. Menghampiri Mamanya di ambang pintu.
            “Mama pengin aku minum ini?” tanganya menggenggam segelas susu, lalu melepaskanya. Praaaang.
            “Apa Mama juga pengin aku makan ini?” tangannya memegang sepiring roti, lalu melepaskanya. Lagi-lagi praaaang.
Tante Rey hanya diam sambil menyeka tangisnya. Kusandarkan pelukku di tubuhnya.
***
            Aku pastikan harusnya ini terakhir Bima melukai Mamanya. Entah dengan jemarinya ataupun dengan lisannya. Aku masih mau di sisinya, menahan tangan-tangan kasar yang tak ku tahu kapan datangnya. Membungkam mulutnya ketika ucapnya memusingkan kepala. Aku masih mau di sisinya, entah sampai kapan Tuhan membatasi waktunya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar