Bipolar
Dhani
Susilowati
“Bim,
gimana tempat ini bagus nggak?” tanyaku.
“Kamu
lupa panggilan biasa kita, hah!” suaranya agak tinggi, tatapanya tajam.
“Cuma
masalah gini, kamu marah?” Aku bingung.
“Udah
kita pulang aja!” Bima menarik tanganku, kasar.
Akhir-akhir
ini tingkah Bima aneh. Perlakuannya kasar. Sering marah hanya karena hal yang
sepele. Dia marah ketika Aku lupa mengenakan jam tangan yang dia berikan. Marah
ketika di Restaurant tidak berselera makan. Tidak cocok dengan warna
baju yang Aku kenakan, dia marah.
***
Ponselku berdering semakin keras.
Lalu Aku tergesa berlari meraih ponsel
yang tergeletak di atas ranjang. Nafasku sempat terengah.
“Kenapa lama banget sih angkat
teleponya?” suara Bima meninggi.
“Maaf Sayang, aku baru bantuin Mama,” Aku
menjelaskan pelan.
“Kamu emang selalu kayak gitu, aku
bosen dengernya,” dia mulai marah.
“Bim, kamu nyadar nggak sih,
sebenernya yang lebih ngebosenin itu sikap kamu.”
“Ya udah mulai sekarang kita putus
aja Mita,” tut tut tut.
Dadaku
seketika sesak. Bima sangat berbeda, Dia membuatku menyerah akan cinta yang
sudah kupertahankan beberapa tahun ini. Mataku sembam, air mata tak bisa lagi
disembunyikan.
***
Aku menenteng ransel dipundakku. Kakiku
sudah lemas digerakkan. Hari ini tak seperti kemarin, masih tertawa bersama
Bima yang berjalan tepat disampingku. Dia menggandeng erat jemariku. Entahlah
pikiranku kacau.
Langkahku terhenti saat aku
menyadari ada seseorang yang mengiring langkahku. Bima, Dia tanpa permisi
menarik tanganku. Aku hanya diam tanpa berbuat. Dia menarikku hingga aku duduk,
ia keluar menutup pintu mobinya lalu masuk kembali dan duduk tepat di
sampingku. Aku masih diam tak mengerti. Bima menatap erat wajahku, semakin
lekat. Dia memelukku, erat. Kali ini benar-benar berbeda dengan sifat kasar
yang membuatku penat.
Menangis, itu yang Bima lakukan.
Memohon kita bisa seperti dulu menciptakan berribu kenangan. Aku tak punya
kekuatan. Selain menjawab “Iya” untuk sebuah permintaan. Dia terlihat girang,
begitupun aku, tak bisa menahan senyuman.
Hari berikutnya aku melihat sisi
lain dari Bima yang akhir-akhir ini sering marah. Dia terlihat sangat pintar,
aktif di kelas. Beberapa kali mengajakku bercanda, sangat menyenangkan.
Tatapanya terasa nyaman ketika kupandang. Lagi-lagi aku mulai membangun
setumpuk harapan. Menanti sebuah kisah
bahagia akan segera terulang.
***
Genap seminggu Aku menyandang rasa
nyaman ketika kusandarkan kepalaku di bahunya. Serasa lengkap bahagiaku ketika
setiap malam selalu kudengarkan denting petikan gitar. Tapi malam ini ponselku
tak berdering sama sekali. Khawatir, iya. Lalu kuketik sederet kata pada layar
ponsel pintarku. Lama kutunggu tak ada balas pesan darinya. Cukup lama Aku diam
hanya untuk memikirkan. Seketika ada Tante Reyna dibenakku. Ah! Sudah lama Aku
tak mengunjungi ibu dari kekasihku.
Sebuah bingkisan sengaja tidak
kulupakan. Segera saja aku melaju dengan sepeda motorku. Kupastikan kecepatan
masih dalam taraf aman. Tiba-tiba saja jantungku agak berdegup kencang.
Entahlah apa reaksi ibu mertua nanti. Kuharap Ia menyambutku dengan senyum di
bibirnya.
Tok tok tok
Lama
sekali tak ada sahutan. Aku sedikit bingung. Kucoba mengetuk lagi. Menelpon
Bima, tapi tak ada jawaban. Praaang... Kudengar suara itu dari dalam. Wanita
itu menangis, tidak salah lagi itu suara Tante Reyna.
“Tante Rey!” teriakku seraya
mengetuk pintu, makin keras.
Aku menunggu
cukup lama. Akhirnya pintu itu terbuka.
“Mita, ayo masuk Nak!” ajaknya
pelan.
Aku bingung apa
yang harus kukatakan. Aku khawatir tapi aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan
kekhawatiranku. Suara yang akan kugunakan serasa menghilang. Aku diam.
“Mit, Bima marah sama Tante,
gara-gara Tante nggak kasih ijin buat nemuin kamu malem ini,” jelasanya sambil
menundukkan kepala.
“Sekarang Bima mana Tan?” tanyaku
pelan.
“Dia tidur, barusan Tante kasih obat
penenang. Tante sering kewalahan kalo Bima lagi ngalamin fase depresi kayak
gini,” cercanya sambil menampakkan rona sendu.
“Sebenarnya Bima kenapa Tan?” Aku
masih menerka.
“Setahun yang lalu dia divonis kena
penyakit bipolar. Ya beginilah kalo
Dia sedang mengalami fase depresi. Bantu
Tante, setidaknya 2 Minggu hingga fase ini berakhir. Tante takut kalau
Bima mencoba bunuh diri.”
Tangisnya seolah
mengajak air mataku menyeruak tak tertahan. Aku baru tahu ada satu penyakit
yang membuat kepribadian Bima berubah.
Dia yang setiap saat harus menelan obat penenang. Wajah ibu muda yang
kehilangan senyuman. Semua terbayang di benakku. Sementara yang kulakukan
selama ini hanya menyalahkan Bima. Aku berjanji pada diriku sendiri, pasti akan
kutemani kekasihku hingga pneyakit itu pergi.
***
Hari ini aku
memutuskan tidak pergi ke sekolah. Bahkan Aku masih memandangi tubuh Bima
tergeletak di ranjangnya. Semalam suntuk aku tak tidur, hanya sibuk memandang
wajahnya yang pulas tertidur. Hanya menggenggam erat jemarinya yang lentur.
“Kamu ngapain
disini?” sentaknya sembari menjauhkan jarinya dengan jemariku.
Aku menatapnya
dalam “ Bim-bim Sayang, kamu tenang ya!”
Tiba-tiba Dia luluh
dengan kata-kataku. Tatapannya tak lagi tajam, namun enak dipandang.
“Aku sayang
banget sama kamu Mit, jangan tinggalin aku ya!” pintanya.
Dia memelukku.
Aku diam terpaku. Tiba-tiba Tante Reyna datang dari balik pintu.
“Mama ngapain sih ke sini. Pergi
sana!” Dia membentak Tante Reyna.
Segera Dia enyah
dari pelukanku. Menghampiri Mamanya di ambang pintu.
“Mama pengin aku minum ini?”
tanganya menggenggam segelas susu, lalu melepaskanya. Praaaang.
“Apa Mama juga pengin aku makan
ini?” tangannya memegang sepiring roti, lalu melepaskanya. Lagi-lagi praaaang.
Tante Rey hanya
diam sambil menyeka tangisnya. Kusandarkan pelukku di tubuhnya.
***
Aku pastikan harusnya ini terakhir
Bima melukai Mamanya. Entah dengan jemarinya ataupun dengan lisannya. Aku masih
mau di sisinya, menahan tangan-tangan kasar yang tak ku tahu kapan datangnya.
Membungkam mulutnya ketika ucapnya memusingkan kepala. Aku masih mau di
sisinya, entah sampai kapan Tuhan membatasi waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar