Pertemuan
di Benak Mila
Oleh: Dhani Susilowati
Mila, wanita yang tengah hamil
tua itu berpendar-pendar pandangnya. Nanar, hingga lampu-lampu kendaaraan di
jalan an tampak layaknya kunang-kunang. Akhir-akhir ini dia sering takut pada
dirinya sendiri. Ada bau amis bercampur anyir yang dirasa muncul di atas kepala
wanita itu. Beberapa kali ia bercermin, tapi tak didapati apa pun jua. Entah
itu darah atau barangkali borok bercampur nanah.
Memang, malam itu tepat tiga
puluh hari Arman menghilang. Tepatnya selang beberapa waktu setelah Kusno
berhasil menembak sembilan orang serdadu Belanda. Surabaya sibuk berkoar-koar
perihal kehebatan Kusno kala itu. Begitu agungnya nama pemuda bertubuh tegap
itu diteriakkan kawanan manusia berkulit sawo matang. Baik petang maupun
terang.
Bebal, pendengaran Mila seakan
kerasukan gumpalan hitam tebal yang mengepul dari kumpulan asap bibir
orang-orang.
“Kusno memang pemuda yang hebat,
kau tahu bukan?” celetuk seorang wanita sembari memamerkan dagangannya.
“Jika lelaki itu mampu menembak
mati pasukan Belanda, pasti tidak mustahil kalau lelaki itu pun mampu
meluluhkan hati anakku,” sahut wanita paruh baya di sebelahnya.
“Kusmini anakmu itu, hahahahah
sudahlah jangan berharap. Kusno si perjaka tangguh itu tidak akan cocok untuk
anakmu.”
“Iya kau benar, Kusno hanya
pantas untuk anakku,” wanita yang ada di samping Mila pun tak mau kalah
memamerkan putrinya.
“Anakmu yang mana, Mila maksudmu?
Ah yang benar saja.”
Sederet kata-kata yang
dilontarkan Bu Hadmi begitu ampuh untuk sekadar menyumpal mulut segerombolan
pedagang sayur di Pasar. Namun, mereka rupanya tidak hanya bungkam. Malah
berganti adu tatap dengan Mila. Lantas saja wanita itu terusik hatinya. Dia
mengutuki nasibnya hingga sedikit beku mulai
bersarang dalam nurani.
“Arg, sial!”
Tendangan kuat dari jagoan kecil
rupanya mampu menggetarkan diding rahim Mila. Sedikit sakit, memang. Tapi
kesakitan yang sedikit itu malah menambah dendam. Hingga Mila memutuskan untuk
menarik ibunya dari kerumunan desas-desus bajingan yang mengaku pahlawan.
Sejak Arman tidak pulang, Bu Hadmi
tampak tenang-tenang saja. Tidak ada kekhawatiran, sekalipun akan menyaksikan
putrinya berjuang menghidupi seorang bayi. Tidak ada kekhawatiran , sekalipun
mengingat seorang anak akan bertanya-tanya mengenai bapaknya, nanti. Barangkali
ia juga ditanya. Betapa pun itu, Bu Hadmi hanya bersyukur tak perlu melenyapkan
menantunya dengan susah-payah. Kebenciannya pada Arman telah didengar oleh
Tuhan dan dikabulkan melalui takdir. Takdir dengan suka-rela memisahkan ikatan
cinta mereka. Kata Mila cinta, tapi tak pernah seperti itu tanggapan Bu Hadmi.
Tidak ada cinta, pernikahan mereka hanya petaka belaka.
***
“Bu, makanlah dulu!”
Mila diam saja. Mengedipkan mata
pun tidak. Kaki dan tangannya masih tetap kuat melekat pada rangka kayu.
Lehernya pun begitu, masih khidmat dalam bongkahan kayu yang melilitnya. Wanita
itu mau membuka mulutnya saat cahya matahari pagi mulai menerobos masuk bilik
bambu. Dan ditampunglah sesuap nasi itu di antara gigi-gigi kecil, rapi, tetapi
makin ditebalkan kemuning kerak.
“Mas, Amran, cepat sedikit, kau
bisa terlambat, nanti!” Pika, segera meneriaki suaminya dari rumah.
“Iya, Pik, sebentar,” sahut Amran
lebih keras.
Bilik bambu tempat Mila dipasung
memang tidak bergandeng dengan rumah Amran. Malah, dipisahkan oleh rerimbunan
pohon bambu. Rumah Amran, agak jauh dengan para tetangga. Ya, sekitar empat
puluh tujuh meter, kebun pisang dan nanas yang menjadi jaraknya.
“Ayolah, Bu, habiskan makanannya.
Aku akan segera pergi kerja!”
Mila masih diam saja. Tapi kali
ini matanya yang tak berkedip sedari tadi itu malah basah. Butiran bening
seolah menerobos melalui celah-celah penjara mata. Lantas Amran makin marah.
“Terus saja menangis, Bu!
Barangkali tangismu itu mampu menghapus dosa-dosamu.”
Bangkit lelaki beristri itu. Lalu
enyah dari pelupuk mata yang basah. Jangan heran, dunia memang seperti itu. Air
mata, kau pikir dunia kasihan dengan manusia-manusia lemah penyumbang air mata?
Oh, tidak, kau salah. Ingatlah, seisi dunia hanya berpihak padamu ketika kau sedang
tertawa. Begitu pun Amran pada ibunya.
***
Gelap menjadi pertemuan antara
bebauan kamboja dan bangkai-bangakai manusia. Semakin pekat, akan tetapi tetap
riuh oleh kepak kawanan gagak dan dengung lalat. Pertemuan itu tidak dijumpai
di tempat mana pun. Tidak oleh siapa pun, kecuali Mila. Selalu, setiap matahari
mengutarakan perpisahannya melalui senja, sejak itu pula pertemuan itu ada.
Pertemuan yang mewakili segenap nurani-nurani yang patah. Dan Mila tak pernah
lepas dari paksaan untuk menjahitnya.
Keping-keping ingatan itu mulai
berhamburan. Saling direbutkan, ditarik, diulur beratus-ratus gagak hitam.
Lalat yang berdengung menciumi koreng di sekujur tubuh Mila, kini berdengung di
kepalanya. Ruang gelap di bawah tanah itu benar-benar menyisakan kematian dalam
sebuah kehidupan. Bagaimana tidak, raganya seolah terasingkan dari kehidupan.
Gelap, dan menyatu dengan asal-muasal kehidupan, tanah.
Amis. Tak berwarna, hanya gelap
karena tak ada cahaya. Mulanya bagian lengan terpotong dan basah akan bebauan
amis itu. Lengan satunya lagi pun tercacah menjadi dua. Menghadirkan aroma yang
sama amisnya. Kemudian bagian perut terbelah, rusuknya pecah. Lalu, penggallah
lehernya oleh parang yang baru saja selesai diasah. Kini kakinya pun tak utuh.
Tubuh pemuda itu layaknya kepingan puzell yang tidak lagi mampu disatukan
ulang.
Sebelas bulan setelah penembakan
serdadu Belanda, Surabaya dikabarkan oleh kematian. Kusno tewas mengenaskan.
Jasadnya ditemukan di pelataran pasar.
“Bagaimana mungkin pemuda itu
mati?” seorang pedagang sayur di pasar pagi mulai membuka gunjingan harian.
“Entahlah, kematiannya
mengenaskan sekali. Tubuhnya dipotong-potong seperti ayam-ayam yang kau jual
itu,”cerca pedagang yang lainnya.
“Sungguh mengerikan, siapa yang
tega melakukannya? Pasti bule-bule bersenjata itu.” Seorang lagi menambahkan
asumsi.
Mila menyaksikan kasak-kusuk kumpulan
manusia yang pernah amat tajam menatapnya. Kini mata mereka diliputi
kebingungan. Sedang Mila merasakan tubuhnya ringan diangkat ribuan tangan,
karena berhasil memenangkan kebencian. Bukan siapa pun atau buku mana pun yang
mengajarkannya mengayunkan parang untuk memisakhan rangkaian tubuh orang.
Namun, dendam yang menuntunnya.
“Mila, kau harus bersabar atas
kematian suamimu,” bujuk seorang pedagang ayam. Disambut dengan senyum kecut
Mila sambil menggendong putranya.
“Jangan bergerak!” Seru seorang
lelaki dari belakang Mila. Semua tercengang. Pembeli yang berdesakan bergeser
minggir pelan-pelan.
“Ada apa ini?” Mila lebih
tercengang.
“Kami membawa surat perintah
untuk memeriksa saudari Mila terkait pembunuhan Kusno.” Kasak-kusuk itu makin
menjadi, tapi Mila tak sempat mendengarnya lantaran polisi membawanya pergi.
***
Gelap menjadi pertemuan antara
bebauan kamboja dan bangkai-bangakai manusia. Semakin pekat, akan tetapi tetap
riuh oleh kepak kawanan gagak dan dengung lalat. Pertemuan itu tidak dijumpai
di tempat mana pun. Tidak oleh siapa pun, kecuali Mila. Selalu, setiap matahari
mengutarakan perpisahannya melalui senja, sejak itu pula pertemuan itu ada.
Pertemuan yang mewakili segenap nurani-nurani yang patah. Dan Mila tak pernah
lepas dari paksaan untuk menjahitnya.
“Mila, saya sangat mencintai
kamu,” ucap Kusno di satu malam.
Menoleh pun tidak, Mila tetap
membelakangi lelaki itu. Masih memandang lekat bayi laki-laki yang dulu
bersemayam di rahimnya saat semua warga pasar mengelu-elukan lelaki yang tengah
mendekapnya diam-diam.
“Aku sangat tersiksa meski hanya
melihatmu ada.”
Kusno mulai menanggalkan
senyumnya. Dia memang tahu, tidak ada lelaki lain yang dicintai oleh Mila
selain mantan suaminya, Arman. Meski begitu Kusno mengaku senang. Di antara
kesenangan itu, kemudian muncul kerumunan bayang-bayang di benaknya. Hingga
bibirnya tak lagi bungkam. Tuhan rupanya mengirimkan setan di antara kerumunan
bayang –bayang itu.
“Heh, jangan pernah berpikir
kalau kamu masih mencintai Arman. Bahkan harusnya cintamu itu ikut mati bersama
raganya.”
“Beraninya kau menyebut nama
suamiku,” teriak Mila.
“Siapa yang kau maksud suamimu?
Bodoh sekali bahkan kamu tidak pernah mengerti jika saya sudah berkorban
terlalu jauh untuk menikah dengan kamu.”
“Kekasih sejatiku boleh mati,
tapi cintanya masih tetap di sini, ada di setiap embus napasku,” tukas Mila.
“Bahkan kamu tidak tahu bagaimana
lelaki itu mati. “
Pasukan berseragam itu rupanya
mengetahui persembunyian Kusno, Arman dan Dwi Jaya. Maka Kusno lari setelah
mengumpankan Arman pada kawanan bengis dari barat. Begitu pun Dwi Jaya. Karena
amarah, pistol kecil Arman mampu melenyapkan sembilan tentara Belanda. Sayang,
hidupnya direnggut satu tembakan tepat di dadanya.
Gelap menjadi pertemuan antara
bebauan kamboja dan bangkai-bangakai manusia. Semakin pekat, akan tetapi tetap
riuh oleh kepak kawanan gagak dan dengung lalat. Pertemuan itu tidak dijumpai
di tempat mana pun. Tidak oleh siapa pun, kecuali Mila. Selalu, setiap matahari
mengutarakan perpisahannya melalui senja, sejak itu pula pertemuan itu ada.
Pertemuan yang mewakili segenap nurani-nurani yang patah. Dan Mila tak pernah
lepas dari paksaan untuk menjahitnya.
“Mila, tak mengapa jika kau sudah
tak mencintaiku. Tapi kumohon, bawakan aku bunga dan deretan doa, agar aku
bahagia di sini.” Di suatu senja yang cahyanya menerobos bilik bambu, Arman
muncul kembali.
“Jangan gila, Sayang. Mengapa
memintaku seperti itu, bahkan kau belum mati, dan tidak akan pernah mati
bagiku.”
Byar, senyumnya, tatapan
sendunya, peluk hangatnya dan tubuh tegap yang pernah menenggelamkan tubuh Mila
pecah terbentur suara Amran.
“Bu, aku tahu Ibu seperti ini
karena dendam. Tapi, Bu, jangan pernah merencanakan pembunuhan seperti yang
tempo hari ingin Ibu lakukan,” pinta lelaki itu pada ibunya.
Semarang, 12 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar