Senin, 12 September 2016

Cerpen: Pertemuan di Benak Mila

Pertemuan di Benak Mila
Oleh: Dhani Susilowati

Mila, wanita yang tengah hamil tua itu berpendar-pendar pandangnya. Nanar, hingga lampu-lampu kendaaraan di jalan an tampak layaknya kunang-kunang. Akhir-akhir ini dia sering takut pada dirinya sendiri. Ada bau amis bercampur anyir yang dirasa muncul di atas kepala wanita itu. Beberapa kali ia bercermin, tapi tak didapati apa pun jua. Entah itu darah atau barangkali borok bercampur nanah.
Memang, malam itu tepat tiga puluh hari Arman menghilang. Tepatnya selang beberapa waktu setelah Kusno berhasil menembak sembilan orang serdadu Belanda. Surabaya sibuk berkoar-koar perihal kehebatan Kusno kala itu. Begitu agungnya nama pemuda bertubuh tegap itu diteriakkan kawanan manusia berkulit sawo matang. Baik petang maupun terang.
Bebal, pendengaran Mila seakan kerasukan gumpalan hitam tebal yang mengepul dari kumpulan asap bibir orang-orang.
“Kusno memang pemuda yang hebat, kau tahu bukan?” celetuk seorang wanita sembari memamerkan dagangannya.
“Jika lelaki itu mampu menembak mati pasukan Belanda, pasti tidak mustahil kalau lelaki itu pun mampu meluluhkan hati anakku,” sahut wanita paruh baya di sebelahnya.
“Kusmini anakmu itu, hahahahah sudahlah jangan berharap. Kusno si perjaka tangguh itu tidak akan cocok untuk anakmu.”
“Iya kau benar, Kusno hanya pantas untuk anakku,” wanita yang ada di samping Mila pun tak mau kalah memamerkan putrinya.
“Anakmu yang mana, Mila maksudmu? Ah yang benar saja.”
Sederet kata-kata yang dilontarkan Bu Hadmi begitu ampuh untuk sekadar menyumpal mulut segerombolan pedagang sayur di Pasar. Namun, mereka rupanya tidak hanya bungkam. Malah berganti adu tatap dengan Mila. Lantas saja wanita itu terusik hatinya. Dia mengutuki nasibnya hingga sedikit beku mulai  bersarang dalam nurani.
“Arg, sial!”
Tendangan kuat dari jagoan kecil rupanya mampu menggetarkan diding rahim Mila. Sedikit sakit, memang. Tapi kesakitan yang sedikit itu malah menambah dendam. Hingga Mila memutuskan untuk menarik ibunya dari kerumunan desas-desus bajingan yang mengaku pahlawan.
Sejak Arman tidak pulang, Bu Hadmi tampak tenang-tenang saja. Tidak ada kekhawatiran, sekalipun akan menyaksikan putrinya berjuang menghidupi seorang bayi. Tidak ada kekhawatiran , sekalipun mengingat seorang anak akan bertanya-tanya mengenai bapaknya, nanti. Barangkali ia juga ditanya. Betapa pun itu, Bu Hadmi hanya bersyukur tak perlu melenyapkan menantunya dengan susah-payah. Kebenciannya pada Arman telah didengar oleh Tuhan dan dikabulkan melalui takdir. Takdir dengan suka-rela memisahkan ikatan cinta mereka. Kata Mila cinta, tapi tak pernah seperti itu tanggapan Bu Hadmi. Tidak ada cinta, pernikahan mereka hanya petaka belaka.
***
“Bu, makanlah dulu!”
Mila diam saja. Mengedipkan mata pun tidak. Kaki dan tangannya masih tetap kuat melekat pada rangka kayu. Lehernya pun begitu, masih khidmat dalam bongkahan kayu yang melilitnya. Wanita itu mau membuka mulutnya saat cahya matahari pagi mulai menerobos masuk bilik bambu. Dan ditampunglah sesuap nasi itu di antara gigi-gigi kecil, rapi, tetapi makin ditebalkan kemuning kerak.
“Mas, Amran, cepat sedikit, kau bisa terlambat, nanti!” Pika, segera meneriaki suaminya dari rumah.
“Iya, Pik, sebentar,” sahut Amran lebih keras.
Bilik bambu tempat Mila dipasung memang tidak bergandeng dengan rumah Amran. Malah, dipisahkan oleh rerimbunan pohon bambu. Rumah Amran, agak jauh dengan para tetangga. Ya, sekitar empat puluh tujuh meter, kebun pisang dan nanas yang menjadi jaraknya.
“Ayolah, Bu, habiskan makanannya. Aku akan segera pergi kerja!”
Mila masih diam saja. Tapi kali ini matanya yang tak berkedip sedari tadi itu malah basah. Butiran bening seolah menerobos melalui celah-celah penjara mata. Lantas Amran makin marah.
“Terus saja menangis, Bu! Barangkali tangismu itu mampu menghapus dosa-dosamu.”
Bangkit lelaki beristri itu. Lalu enyah dari pelupuk mata yang basah. Jangan heran, dunia memang seperti itu. Air mata, kau pikir dunia kasihan dengan manusia-manusia lemah penyumbang air mata? Oh, tidak, kau salah. Ingatlah, seisi dunia hanya berpihak padamu ketika kau sedang tertawa. Begitu pun Amran pada ibunya.
***
Gelap menjadi pertemuan antara bebauan kamboja dan bangkai-bangakai manusia. Semakin pekat, akan tetapi tetap riuh oleh kepak kawanan gagak dan dengung lalat. Pertemuan itu tidak dijumpai di tempat mana pun. Tidak oleh siapa pun, kecuali Mila. Selalu, setiap matahari mengutarakan perpisahannya melalui senja, sejak itu pula pertemuan itu ada. Pertemuan yang mewakili segenap nurani-nurani yang patah. Dan Mila tak pernah lepas dari paksaan untuk menjahitnya.
Keping-keping ingatan itu mulai berhamburan. Saling direbutkan, ditarik, diulur beratus-ratus gagak hitam. Lalat yang berdengung menciumi koreng di sekujur tubuh Mila, kini berdengung di kepalanya. Ruang gelap di bawah tanah itu benar-benar menyisakan kematian dalam sebuah kehidupan. Bagaimana tidak, raganya seolah terasingkan dari kehidupan. Gelap, dan menyatu dengan asal-muasal kehidupan, tanah.
Amis. Tak berwarna, hanya gelap karena tak ada cahaya. Mulanya bagian lengan terpotong dan basah akan bebauan amis itu. Lengan satunya lagi pun tercacah menjadi dua. Menghadirkan aroma yang sama amisnya. Kemudian bagian perut terbelah, rusuknya pecah. Lalu, penggallah lehernya oleh parang yang baru saja selesai diasah. Kini kakinya pun tak utuh. Tubuh pemuda itu layaknya kepingan puzell yang tidak lagi mampu disatukan ulang.
Sebelas bulan setelah penembakan serdadu Belanda, Surabaya dikabarkan oleh kematian. Kusno tewas mengenaskan. Jasadnya ditemukan di pelataran pasar.
“Bagaimana mungkin pemuda itu mati?” seorang pedagang sayur di pasar pagi mulai membuka gunjingan harian.
“Entahlah, kematiannya mengenaskan sekali. Tubuhnya dipotong-potong seperti ayam-ayam yang kau jual itu,”cerca pedagang yang lainnya.
“Sungguh mengerikan, siapa yang tega melakukannya? Pasti bule-bule bersenjata itu.” Seorang lagi menambahkan asumsi.
Mila menyaksikan kasak-kusuk kumpulan manusia yang pernah amat tajam menatapnya. Kini mata mereka diliputi kebingungan. Sedang Mila merasakan tubuhnya ringan diangkat ribuan tangan, karena berhasil memenangkan kebencian. Bukan siapa pun atau buku mana pun yang mengajarkannya mengayunkan parang untuk memisakhan rangkaian tubuh orang. Namun, dendam yang menuntunnya.
“Mila, kau harus bersabar atas kematian suamimu,” bujuk seorang pedagang ayam. Disambut dengan senyum kecut Mila sambil menggendong putranya.
“Jangan bergerak!” Seru seorang lelaki dari belakang Mila. Semua tercengang. Pembeli yang berdesakan bergeser minggir pelan-pelan.
“Ada apa ini?” Mila lebih tercengang.
“Kami membawa surat perintah untuk memeriksa saudari Mila terkait pembunuhan Kusno.” Kasak-kusuk itu makin menjadi, tapi Mila tak sempat mendengarnya lantaran polisi membawanya pergi.
***
Gelap menjadi pertemuan antara bebauan kamboja dan bangkai-bangakai manusia. Semakin pekat, akan tetapi tetap riuh oleh kepak kawanan gagak dan dengung lalat. Pertemuan itu tidak dijumpai di tempat mana pun. Tidak oleh siapa pun, kecuali Mila. Selalu, setiap matahari mengutarakan perpisahannya melalui senja, sejak itu pula pertemuan itu ada. Pertemuan yang mewakili segenap nurani-nurani yang patah. Dan Mila tak pernah lepas dari paksaan untuk menjahitnya.
“Mila, saya sangat mencintai kamu,” ucap Kusno di satu malam.
Menoleh pun tidak, Mila tetap membelakangi lelaki itu. Masih memandang lekat bayi laki-laki yang dulu bersemayam di rahimnya saat semua warga pasar mengelu-elukan lelaki yang tengah mendekapnya diam-diam.
“Aku sangat tersiksa meski hanya melihatmu ada.”
Kusno mulai menanggalkan senyumnya. Dia memang tahu, tidak ada lelaki lain yang dicintai oleh Mila selain mantan suaminya, Arman. Meski begitu Kusno mengaku senang. Di antara kesenangan itu, kemudian muncul kerumunan bayang-bayang di benaknya. Hingga bibirnya tak lagi bungkam. Tuhan rupanya mengirimkan setan di antara kerumunan bayang –bayang itu.
“Heh, jangan pernah berpikir kalau kamu masih mencintai Arman. Bahkan harusnya cintamu itu ikut mati bersama raganya.”
“Beraninya kau menyebut nama suamiku,” teriak Mila.
“Siapa yang kau maksud suamimu? Bodoh sekali bahkan kamu tidak pernah mengerti jika saya sudah berkorban terlalu jauh untuk menikah dengan kamu.”
“Kekasih sejatiku boleh mati, tapi cintanya masih tetap di sini, ada di setiap embus napasku,” tukas Mila. 
“Bahkan kamu tidak tahu bagaimana lelaki itu mati. “
Pasukan berseragam itu rupanya mengetahui persembunyian Kusno, Arman dan Dwi Jaya. Maka Kusno lari setelah mengumpankan Arman pada kawanan bengis dari barat. Begitu pun Dwi Jaya. Karena amarah, pistol kecil Arman mampu melenyapkan sembilan tentara Belanda. Sayang, hidupnya direnggut satu tembakan tepat di dadanya.
Gelap menjadi pertemuan antara bebauan kamboja dan bangkai-bangakai manusia. Semakin pekat, akan tetapi tetap riuh oleh kepak kawanan gagak dan dengung lalat. Pertemuan itu tidak dijumpai di tempat mana pun. Tidak oleh siapa pun, kecuali Mila. Selalu, setiap matahari mengutarakan perpisahannya melalui senja, sejak itu pula pertemuan itu ada. Pertemuan yang mewakili segenap nurani-nurani yang patah. Dan Mila tak pernah lepas dari paksaan untuk menjahitnya.
“Mila, tak mengapa jika kau sudah tak mencintaiku. Tapi kumohon, bawakan aku bunga dan deretan doa, agar aku bahagia di sini.” Di suatu senja yang cahyanya menerobos bilik bambu, Arman muncul kembali.
“Jangan gila, Sayang. Mengapa memintaku seperti itu, bahkan kau belum mati, dan tidak akan pernah mati bagiku.”
Byar, senyumnya, tatapan sendunya, peluk hangatnya dan tubuh tegap yang pernah menenggelamkan tubuh Mila pecah terbentur suara Amran.
“Bu, aku tahu Ibu seperti ini karena dendam. Tapi, Bu, jangan pernah merencanakan pembunuhan seperti yang tempo hari ingin Ibu lakukan,” pinta lelaki itu pada ibunya.


Semarang, 12 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar