Desas-Desus Asap
Oleh: Dhani Susilowati
Prang. Batu seukuran genggaman tangan menyelinap
terlempar dari luar. Serpihan kaca berjatuhan diantara keramik putih kusam.
Seorang wanita bertubuh ramping buru-buru melesat dari pandangan Asap. Entahlah
siapa dia, wajahnya terlindungi petang.
***
Nama Lahirnya Setyana Asap Maharani. Enam belas
tahun sudah ia menatap dunia, semua suasananya dinikmati. Dia hidup dengan baik
selama ini. Kasih sayang seorang Ibu tak kurang diberi. Begitupun sosok Ayah,
beliau benar pria sejati. Memang hanya bertiga tapi bahagia karena cinta, bukan
materi yang dicari.
“Puteri kecil Ibu cantik sekali, sini ibu ajarkan
bernyanyi!” ajak Ibu sembari membelai rambut Asap. Asap mengangguk sembari malu
menyembunyikan senyum.
“Ingat Bu, gadis manis ini puteri Ayah juga, akan
Ayah ajarkan bermain gitar,” nada suaranya bangga. Lagi-lagi Asap tersenyum,
kali ini ia mendekap dua malaikatnya itu.
Asap perlahan mulai belajar bermain gitar. Memetik
senarnya, tangan serta merta hebat bergetar. Mendengar genjrengan parau gitar,
hatinya serasa ikut berdebar. Belajar. Pun bernyannyi, mulutnya sulit membuka
lebar. Suara-suara fals masih kerap didengar. Belajar.
Gigih ia belajar tanpa kenal lelah. Selalu seperti
itu setiap malam, jika saja dijadikan sejarah. Tidak pintar, pun cerdas, dia
hanya gadis kecil yang ingin bisa, jadilah Asap bermental gagah.
Petikan gitarnya tak lagi kacau. Suaranya tak lagi
parau. Apik, merdu. Tiap nada ia mainkan begitu. Ibu dan ayahnya senang tak
tentu. Keberhasilan Asap akan segera mengantar keluarga kecil itu berlibur
menikmati gelombang-gelombang biru.
***
Liburan keluarga segera tiba. dikemasi barang-barang
yang ada. Makanan, minuman dan pakaian tertata siap dibawa. Ayah mengangkatnya,
dimasukkan dalam mobil dengan langkah yang tertata. Mereka akan segera menuju
ke Semarang kota. Liburan pertama Asap, diduga akan membawa pengaruh bahagia.
Kotanya indah, itu kata mereka. Asap belum melihatnya. Penasaran masih terus
membayang menghias setiap pikirrnya.
“Ayah, Ibu let’s go!”teriakku dalam mobil. Mereka
hanya tertawa kecil. Setiap perjalanan terasa asik, mendengarkan musik, mulut
komat-kamit sembari ngemil. Semarang berjarak empat jam dari rumah Asap yang
berada di Wonosobo. Mereka masih menunggu kapan sampainya.
Tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah truk besar
pengangkut kayu melaju sangat kencang dan menabrak mobil yang dinaiki Asap.
Brrrrrrrrrrrrraaaaaaakkk. Kerumunan orang terdengar riuh. Beberapa menit
kemudian mobil polisi datang disusul bunyi sirine dari kejauhan yang semakin
mendekat terdengar. Nyawa keluarga kecil dipertaruhkan.
Polisi itu mengeluarkan kaleng cat semprot, lalu
menyemprotkan cat itu ke aspal. Menggali bukti penting. Mengamankan mobil dan
mencari pelaku tabrak lari. Sementara tubuh-tubuh tak berdaya segera dibawa
dengan ambulance.
***
Sepasang suami istri dinyatakan tewas saat kejadian.
Kemudian jenazahnya dibawa ke Wonosobo untuk segera dimakamkan. Gadis yang satu
ini masih diberi napas tambahan oleh Tuhan. Dia dirawat di rumah sakit Dr.
Karyadi, Semarang. Lama tak sadarkan diri. Genap seminggu ia merasa mati. Kini
keadaannya sudah pulih kembali.
Jiwanya seperti terganggu. Bagai ditampar topan.
Berita kematian. Orang-orang terkasih sebagai penopang. Mana semuanya? Apa yang
dia punya saat ini? Bukankah ikut mati lebih baik? Jiwa rapuh itu sudah hampir
jatuh. Satu yang menyelamatkannya, sebuah lagu tentang keluarga kecil bahagia.
Asap tak sedih berkepanjangan.
***
Asap mencoba memulai hidup yang sebenarnya,berawal
dari ambang kematian. Ia kembali ke rumahnya diantar mobil bersirine. Banting
otak, pontang-panting mencari cara bertahan hidup sebatang kara. Satu-satunya
cara dia harus mendapat uang dari kemampuannya bermusik.
Pagi hingga siang, waktunnya habis digunakan untuk
belajar di sekolah. Sepulang sekolah ia bekerja di warung makan milik orang
kampung sebelah. Malam seusai Maghrib, ia bekerja di sebuah bar. Setiap hari
selalu seperti itu. Karena ia butuh, maka menyerah tak ada kamusnya. Boleh
lelah, tapi tidak berhenti melangkah.
Begitu aktivitasnya tiap hari. Cemooh sering
terdengar hingga memerahkan telinga. Ditutupnya rapat telinga kanan, telinga
kiri, dan telinga yang ada di dalam dadannya, sebagai perwakilan hati.
Orang-orang berpikir mereka bertelinga
dua, tapi Asap menganggap dirinya mempunyai tiga telinga.
Telinga kanan dan kiri Asap mendengar riuh bermacam
caci. Sedang telinga yang ada di dadanya mendengar ajakan semangat si
hati. Asap lebih sering menggunakan
telinga hati. Ketika mata-mata tajam itu berpadu menjadi satu untuk berperang
menatap matanya yang nanar. Pandangan Asap mulai memudar. Seperti ada hitam
putih bergerak cepat, terasa bergetar.
***
Prang. Batu seukuran genggaman tangan menyelinap
terlempar dari luar. Serpihan kaca berjatuhan diantara keramik putih kusam.
Seorang wanita bertubuh ramping buru-buru melesat dari pandangan Asap. Entahlah
siapa dia, wajahnya terlindungi petang.
Asap siap dengan seragam putih
abu-abu. Dibukanya gagang pintu. Teras penuh pasir dan batu. Pelacur, wanita
jalang, korbankan keperawanan tertuliskan dengan warna merah darah di dinding.
Asap tercengang, tak membereskanya, ia tergesa meninggalkan rumahnya.
Petang. Ia berganti pakaian menjelma
sebagai mahkota bar. Lesung pipi yang tampak ketika ia bernyanyi, membuat
lelaki kesepian rela menyuguhkan berlembar-lembar uang bergambar
Soekarno-Hatta. Ketika jemarinya mulai kasar sebab lerlalu lama berperang
dengan senar, ia beralih menuangkan barang haram. Asap tak mahir untuk itu,
hanya bermodal senyuman dan lekuk tubuh yang sempurna tiap kali dipandang mata
lelaki hidung belang. Berratus pasang mata menatapnya penuh gairah akan
tubuhnya. Ada pula tatap mata iba, tapi tak sering , hanya ada satu orang
dengan mata seperti itu sejak berlaku pekerjaan ini.
Asap pulang, wajahnya berada tepat
di titik letihnya. Berkali ia menyeka peluh yang mengendap-endap keluar
membasahi wajah mulai dari ubun-ubun di tengah kepala. Langkah yang
terhuyung-huyung mengantarnya menuju pintu rumah, setelah keluar dari mobil
yang berganti-ganti setiap malam. Kali ini lelaki dengan tatap iba yang
mengantarnya pulang. Asap baru saja diajak untuk mengikuti kegiatan bakti
sosial di Yayasan Kasih Anak Kanker besok. Dia tak bisa selain berkata iya.
***
“Adik-adik, kalian pasti bosan,
bagaimana kalau kita bermain musik?” tawarku penuh kehati-hatian. Mereka mengangkat lalu
menurunkan dagu secara cepat dan berulang kali. Asap lega menatap mereka. Lalu
diambilnya gitar pemberian mendiang ayahnya. Duduk ia disebuah kursi yang
terlihat agak tua. Ditariknya napas dalam-dalam, dihempaskanya lagi. Dia
lakukan berulang sebelum mulai bersuara.
Nada minor ia mainkan, suaranya
lembut, mendayu bagai menyapu asa dan derita. Berlanjut nada mayor, membuat
anak-anak tak berrambut itu ikut menari sedikit berjingkat. Asap menampakkan
senyum khas dengan lesung pipi tetap di wajahnya. Lelaki dengan tatapan iba
menatapnya tepat tiga langkah di depannya. Asap balik menatap, tapi bukan sorot
mata iba yang ia lihat kali ini. Lelaki itu memandang tak ubahnya orang yang
bangga. Entahlah Asap hanya bernyanyi dan menghibur anak-anak kecil yang duduk
di depannya.
Mereka menampakkan gigi putihnya,
mulutnya ikut komat-kamit, namun sayangnya suara mereka tak terdengar telinga.
Asap melanjutkan saja memetik senar gitar hingga perih jemarinya, namun
tersamarkan oleh tawa kecil yang sengaja ia ciptakan. Beberapa orang lelaki
membawa kamera, ia kira semacam seksi dokumentasi acara. Asap abaikan saja.
***
Berita Asap muncul di televisi juga
koran, di media sosial seperti facebook, twitter, dan instagram ramai
diperbincangkan. Dirinya sendiri baru sadar setelah teman sekelasnya heboh
meyodorkan koran yang berisi berita tentang dirinya. Rupanya tak ubah senang,
masih datar. Apa yang dibanggakan ketika hanya berita yang beredar, toh dia
memang sudah cukup menjadi perbincangan warga kampung hingga kampung sebelah.
Asap pulang. Lagi-lagi hari memang
sudah petang. Tak seperti biasanya, teras rumahnya tak karuan diteror orang.
Masih sama seperti pagi ketika ia tinggalkan. Pasir, batu dan coretan di
dinding, masih tetap belum hilang. Ia bergegas membinasakan sampah tak bermoral
pembuangnya. Tak lupa ia mengibaskan rambutnya yang tergerai, kadang terbawa
hembusan angin malam.
“Ini honormu, terimakasih telah
membuat mereka tertawa,” jelas lelaki itu sembari menggenggamkan amplop warna
putih polos di antara jari-jemariku. Asap tak menolaknya, girang dalam hatinya.
Kematianya bisa tertunda, setidaknya ia mengantisipasi dengan makan dan minum
dari uang yang ada pada genggamanya untuk hidup esok hari.
***
“Dia memang bekerja di sebuah bar,
tapi dia hanya bernyanyi,” jelas ibu muda.
“Dia juga menjadi terkenal karena
suaranya yang merdu saat menghibur anak-anak kanker, ternyata jiwa sosialnya
tinggi,” ibu berumur tiga puluh tahunan menambahkan. Pergunjingan semakin
ramai. Mereka ingin berganti topik di esok hari, bukan lagi Asap si gadis elok
pekerja keras yang bersuara sedap didengar. Melainkan mencari mangsa baru yang akan
mereka korek habis-habisan.
Berita Asap hilang, hujan telah
mengguyur kampung penuh gunjingan.
Semarang,
21 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar