Selasa, 06 September 2016

Cerpen Desas-Desus Asap (dalam Buku Kumpulan Cerpen Layung)

Desas-Desus Asap
Oleh: Dhani Susilowati

Prang. Batu seukuran genggaman tangan menyelinap terlempar dari luar. Serpihan kaca berjatuhan diantara keramik putih kusam. Seorang wanita bertubuh ramping buru-buru melesat dari pandangan Asap. Entahlah siapa dia, wajahnya terlindungi petang.
***
Nama Lahirnya Setyana Asap Maharani. Enam belas tahun sudah ia menatap dunia, semua suasananya dinikmati. Dia hidup dengan baik selama ini. Kasih sayang seorang Ibu tak kurang diberi. Begitupun sosok Ayah, beliau benar pria sejati. Memang hanya bertiga tapi bahagia karena cinta, bukan materi yang dicari.
“Puteri kecil Ibu cantik sekali, sini ibu ajarkan bernyanyi!” ajak Ibu sembari membelai rambut Asap. Asap mengangguk sembari malu menyembunyikan senyum.
“Ingat Bu, gadis manis ini puteri Ayah juga, akan Ayah ajarkan bermain gitar,” nada suaranya bangga. Lagi-lagi Asap tersenyum, kali ini ia mendekap dua malaikatnya itu.
Asap perlahan mulai belajar bermain gitar. Memetik senarnya, tangan serta merta hebat bergetar. Mendengar genjrengan parau gitar, hatinya serasa ikut berdebar. Belajar. Pun bernyannyi, mulutnya sulit membuka lebar. Suara-suara fals masih kerap didengar. Belajar.
Gigih ia belajar tanpa kenal lelah. Selalu seperti itu setiap malam, jika saja dijadikan sejarah. Tidak pintar, pun cerdas, dia hanya gadis kecil yang ingin bisa, jadilah Asap bermental gagah.
Petikan gitarnya tak lagi kacau. Suaranya tak lagi parau. Apik, merdu. Tiap nada ia mainkan begitu. Ibu dan ayahnya senang tak tentu. Keberhasilan Asap akan segera mengantar keluarga kecil itu berlibur menikmati gelombang-gelombang biru.
***
Liburan keluarga segera tiba. dikemasi barang-barang yang ada. Makanan, minuman dan pakaian tertata siap dibawa. Ayah mengangkatnya, dimasukkan dalam mobil dengan langkah yang tertata. Mereka akan segera menuju ke Semarang kota. Liburan pertama Asap, diduga akan membawa pengaruh bahagia. Kotanya indah, itu kata mereka. Asap belum melihatnya. Penasaran masih terus membayang menghias setiap pikirrnya.
“Ayah, Ibu let’s go!”teriakku dalam mobil. Mereka hanya tertawa kecil. Setiap perjalanan terasa asik, mendengarkan musik, mulut komat-kamit sembari ngemil. Semarang berjarak empat jam dari rumah Asap yang berada di Wonosobo. Mereka masih menunggu kapan sampainya.
Tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah truk besar pengangkut kayu melaju sangat kencang dan menabrak mobil yang dinaiki Asap. Brrrrrrrrrrrrraaaaaaakkk. Kerumunan orang terdengar riuh. Beberapa menit kemudian mobil polisi datang disusul bunyi sirine dari kejauhan yang semakin mendekat terdengar. Nyawa keluarga kecil dipertaruhkan.
Polisi itu mengeluarkan kaleng cat semprot, lalu menyemprotkan cat itu ke aspal. Menggali bukti penting. Mengamankan mobil dan mencari pelaku tabrak lari. Sementara tubuh-tubuh tak berdaya segera dibawa dengan ambulance.
***
Sepasang suami istri dinyatakan tewas saat kejadian. Kemudian jenazahnya dibawa ke Wonosobo untuk segera dimakamkan. Gadis yang satu ini masih diberi napas tambahan oleh Tuhan. Dia dirawat di rumah sakit Dr. Karyadi, Semarang. Lama tak sadarkan diri. Genap seminggu ia merasa mati. Kini keadaannya sudah pulih kembali.
Jiwanya seperti terganggu. Bagai ditampar topan. Berita kematian. Orang-orang terkasih sebagai penopang. Mana semuanya? Apa yang dia punya saat ini? Bukankah ikut mati lebih baik? Jiwa rapuh itu sudah hampir jatuh. Satu yang menyelamatkannya, sebuah lagu tentang keluarga kecil bahagia. Asap tak sedih berkepanjangan.
***
Asap mencoba memulai hidup yang sebenarnya,berawal dari ambang kematian. Ia kembali ke rumahnya diantar mobil bersirine. Banting otak, pontang-panting mencari cara bertahan hidup sebatang kara. Satu-satunya cara dia harus mendapat uang dari kemampuannya bermusik.
Pagi hingga siang, waktunnya habis digunakan untuk belajar di sekolah. Sepulang sekolah ia bekerja di warung makan milik orang kampung sebelah. Malam seusai Maghrib, ia bekerja di sebuah bar. Setiap hari selalu seperti itu. Karena ia butuh, maka menyerah tak ada kamusnya. Boleh lelah, tapi tidak berhenti melangkah.
Begitu aktivitasnya tiap hari. Cemooh sering terdengar hingga memerahkan telinga. Ditutupnya rapat telinga kanan, telinga kiri, dan telinga yang ada di dalam dadannya, sebagai perwakilan hati. Orang-orang  berpikir mereka bertelinga dua, tapi Asap menganggap dirinya mempunyai tiga telinga.
Telinga kanan dan kiri Asap mendengar riuh bermacam caci. Sedang telinga yang ada di dadanya mendengar ajakan semangat si hati.  Asap lebih sering menggunakan telinga hati. Ketika mata-mata tajam itu berpadu menjadi satu untuk berperang menatap matanya yang nanar. Pandangan Asap mulai memudar. Seperti ada hitam putih bergerak cepat, terasa bergetar.  
***
Prang. Batu seukuran genggaman tangan menyelinap terlempar dari luar. Serpihan kaca berjatuhan diantara keramik putih kusam. Seorang wanita bertubuh ramping buru-buru melesat dari pandangan Asap. Entahlah siapa dia, wajahnya terlindungi petang.
            Asap siap dengan seragam putih abu-abu. Dibukanya gagang pintu. Teras penuh pasir dan batu. Pelacur, wanita jalang, korbankan keperawanan tertuliskan dengan warna merah darah di dinding. Asap tercengang, tak membereskanya, ia tergesa meninggalkan rumahnya.
            Petang. Ia berganti pakaian menjelma sebagai mahkota bar. Lesung pipi yang tampak ketika ia bernyanyi, membuat lelaki kesepian rela menyuguhkan berlembar-lembar uang bergambar Soekarno-Hatta. Ketika jemarinya mulai kasar sebab lerlalu lama berperang dengan senar, ia beralih menuangkan barang haram. Asap tak mahir untuk itu, hanya bermodal senyuman dan lekuk tubuh yang sempurna tiap kali dipandang mata lelaki hidung belang. Berratus pasang mata menatapnya penuh gairah akan tubuhnya. Ada pula tatap mata iba, tapi tak sering , hanya ada satu orang dengan mata seperti itu sejak berlaku pekerjaan ini.
            Asap pulang, wajahnya berada tepat di titik letihnya. Berkali ia menyeka peluh yang mengendap-endap keluar membasahi wajah mulai dari ubun-ubun di tengah kepala. Langkah yang terhuyung-huyung mengantarnya menuju pintu rumah, setelah keluar dari mobil yang berganti-ganti setiap malam. Kali ini lelaki dengan tatap iba yang mengantarnya pulang. Asap baru saja diajak untuk mengikuti kegiatan bakti sosial di Yayasan Kasih Anak Kanker besok. Dia tak bisa selain berkata iya.
            ***
            “Adik-adik, kalian pasti bosan, bagaimana kalau kita bermain musik?” tawarku penuh  kehati-hatian. Mereka mengangkat lalu menurunkan dagu secara cepat dan berulang kali. Asap lega menatap mereka. Lalu diambilnya gitar pemberian mendiang ayahnya. Duduk ia disebuah kursi yang terlihat agak tua. Ditariknya napas dalam-dalam, dihempaskanya lagi. Dia lakukan berulang sebelum mulai bersuara.
            Nada minor ia mainkan, suaranya lembut, mendayu bagai menyapu asa dan derita. Berlanjut nada mayor, membuat anak-anak tak berrambut itu ikut menari sedikit berjingkat. Asap menampakkan senyum khas dengan lesung pipi tetap di wajahnya. Lelaki dengan tatapan iba menatapnya tepat tiga langkah di depannya. Asap balik menatap, tapi bukan sorot mata iba yang ia lihat kali ini. Lelaki itu memandang tak ubahnya orang yang bangga. Entahlah Asap hanya bernyanyi dan menghibur anak-anak kecil yang duduk di depannya.
            Mereka menampakkan gigi putihnya, mulutnya ikut komat-kamit, namun sayangnya suara mereka tak terdengar telinga. Asap melanjutkan saja memetik senar gitar hingga perih jemarinya, namun tersamarkan oleh tawa kecil yang sengaja ia ciptakan. Beberapa orang lelaki membawa kamera, ia kira semacam seksi dokumentasi acara. Asap abaikan saja.
            ***
            Berita Asap muncul di televisi juga koran, di media sosial seperti facebook, twitter, dan instagram ramai diperbincangkan. Dirinya sendiri baru sadar setelah teman sekelasnya heboh meyodorkan koran yang berisi berita tentang dirinya. Rupanya tak ubah senang, masih datar. Apa yang dibanggakan ketika hanya berita yang beredar, toh dia memang sudah cukup menjadi perbincangan warga kampung hingga kampung sebelah.
            Asap pulang. Lagi-lagi hari memang sudah petang. Tak seperti biasanya, teras rumahnya tak karuan diteror orang. Masih sama seperti pagi ketika ia tinggalkan. Pasir, batu dan coretan di dinding, masih tetap belum hilang. Ia bergegas membinasakan sampah tak bermoral pembuangnya. Tak lupa ia mengibaskan rambutnya yang tergerai, kadang terbawa hembusan angin malam.
            “Ini honormu, terimakasih telah membuat mereka tertawa,” jelas lelaki itu sembari menggenggamkan amplop warna putih polos di antara jari-jemariku. Asap tak menolaknya, girang dalam hatinya. Kematianya bisa tertunda, setidaknya ia mengantisipasi dengan makan dan minum dari uang yang ada pada genggamanya untuk hidup esok hari.
            ***
            “Dia memang bekerja di sebuah bar, tapi dia hanya bernyanyi,” jelas ibu muda.
            “Dia juga menjadi terkenal karena suaranya yang merdu saat menghibur anak-anak kanker, ternyata jiwa sosialnya tinggi,” ibu berumur tiga puluh tahunan menambahkan. Pergunjingan semakin ramai. Mereka ingin berganti topik di esok hari, bukan lagi Asap si gadis elok pekerja keras yang bersuara sedap didengar. Melainkan mencari mangsa baru yang akan mereka korek habis-habisan.
            Berita Asap hilang, hujan telah mengguyur kampung penuh gunjingan.

Semarang, 21 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar