TEORI SASTRA
Pendekatan
Pragmatik
Dosen pengampu: Dr.
Harjito, M. Hum.
Disusun Oleh:
Pipit
Apriliana (15410225)
Prananing
Meisya M. (15410226)
Dhani
Susilowati (15410227)
PROGDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
PGRI SEMARANG
2015
Pendekatan Pragmatik
A.
Hakikat
Pendekatan Pragmatik
Secara
umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin
memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra. Munculnya pendekatan
pragmatik bertolak dari teori resepsi sastra dalam pemahaman karya sastra yang merupakan reaksi
terhadap kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pendekatan struktural. Sebab
pendekatan struktural ternyata tidak mampu berbuat banyak dalam upaya membantu
seseorang dalam menangkap dan memberi makna karya sastra. Pendekatan struktural
hanya dapat menjelaskan permukaan dari teks sastra karena hanya berbicara tentang
struktur atau unsur-unsur dalam karya sastra. Banyak segi lain yang diperlukan
untuk lebih menjelaskan makna karya sastra. Untuk dapat menangkap segi-segi
lain itu para pakar mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu pendekatan
pragmatik.
Pendekatan
pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk
menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral
agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra
berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya.
Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka
semakin baik karya sastra tersebut.
Pendekatan
pragmatik mempertimbangkan impilkasi pembaca melalui berbagai kompetensinya.
Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka
masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik, di
antaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra,
baik sebagai pembaca eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis
maupun diakronis.
B.
Pengertian Pendekatan Pragmatik Menurut para Ahli
Secara
umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin
memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra.
Sedangkan
menurut para ahli mendefinisikan pendekatan pragmatik adalah sebagai berikut:
1. Menurut
Teeuw, 1994 teori pendekatan pragmatik adalah salah satu bagian ilmu sastra
yang merupakan pragmatik kajian sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca
sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra.
2. Relix
Vedika (Polandia), pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang tak ubahnya
artefak (benda mati) pembacanyalah yang menghidupkan sebagai proses konkritasi.
3. Dawse
dan User 1960, pendekatan pragmatik merupakan interpensi pembaca terhadap karya
sastra ditentukan oleh apa yang disebut “horizon penerimaan” yang mempengaruhi
kesan tanggapan dan penerimaan karya sastra.
Pendekatan
ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat memberi
kesenangan bagi pembacanya. Pemanfaatan pendekatan ini harus berhadapan dengan
realitas konsep keindahan dan konsep nilai dedaktif.
C.
Metode Pendekatan Pragmatik
Penelitian
persepsi pembaca terhadap karya sastra dapat menggunakan beberapa metode
pendekatan,antara lain pendekatan yang bersifat eksperimental, melalui karya
sastra yang mementingkan karya sastra yang terikat pada masa tertentu ada pada
golongan masyarakat tertentu.
1.
Kepada pembaca perorangan atau kelompok
diminta membaca karya sastra, lalu sejumlah pertanyaan dalam angket yang berisi
tentang tanggapan, kesan, penerimaan terhadap karya yang dibaca tersebut,
dijawab oleh pembaca, data yang diperoleh akan dianalisis.
2.
Kepada pembaca perorangan atau kelompok
diminta membaca karya sastra, kemudian ia diminta untuk menginterpretasikan
karya sastra tersebut. Interpretasi-interpretasi yang dibuat oleh pembaca
dianalisis secara kualitatif untuk melihat bagaimana penerimaan atau tanggapannya
terhadap karya sastra.
3.
Kepada masyarakat tertentu diberikan
angket untuk melihat persepsi mereka terhadap karya sastra, misalnya persepsi
sekelompok kritikus terhadap karya sastra modern, persepsi masyarakat tertentu terhadap karya
sastra daerahnya sendiri.
D.
Prinsip-prinsip Dasar Pendekatan Pragmatik
1. Otonomi
karya sastra dianggap tidak relevan dalam kajian karya sastra, karena terlalu menganggap
karya sastra sebagai struktur yang otonom. Padahal karya sastra tersebut tidak
mempunyai kewujudannya sendiri sampai dibaca. Karena itu untuk dapat memahami
sebuah karya sastra, pendekatan pragmatik tidak terlalu terikat pada struktur
sastra semata, melainkan juga kepada faktor yang ada pada diri pembaca secara
kontekstual. Oleh karena itu, bentuk telaahnya kompleks daripada pendekatan
struktural yang hanya tertuju pada struktur teks saja.
2. Pendekatan
pragmatik membuktikan bahwa karya sastra
sebagai artefak, pembacalah yang menghidupkannya melalui proses yang konkrit.
Karya sastra hanya menyediakan etita atau kode makna, sedangkan makna itu
sendiri diberikan oleh pembaca. Karya sastra tidak mengikat pembaca, tetapi
menyediakan tempat yang kosong untuk diisi oleh pembaca. Maksudnya adalah bahwa
teks sastra seperti puisi tidak pernah mempunyai makna yang terumus dengan sendirinya,
sehingga diperlukan tindakan pembaca untuk merumuskannya.
3. Pembaca
bukanlah pribadi yang tetap dan sama, melainkan selalu berubah dan berbeda.
Oleh karena itu, pembaca dalam melakukan
proses pemahaman dipengaruhi oleh horison penerimaannya, maka subjektivitas
pembaca mungkin berbeda antara satu dengan lainnya. Itulah sebabnya teknik
telaahnya pragmatis dan dialektik.
4. Teks
sastra selalu menyajikan ketidak pastiaan makna, sehingga memungkinkan pembaca
untuk memaknai dan memahaminya secara terbuka lebar (Teeuw 1984; Junus 1985;
Salden 1986; dan Jefferson & Robey 1988). Ketidakpastiaan itulah mengapa
pangkal tolak telaah pendekatan pragmatik ini dalam mengapresiasi karya sastra
pada persepsi pembaca
E.
Karakteristik Pendekatan Pragmatik dalam Menelaah Karya Sastra
1.
Asumsi dasar pendekatan pragmatik adalah bahwa karya sastra merupakan sesuatu
yang bersifat artefak. Ia merupakan suatu benda yang belum mempunyai jiwa, dan
baru mempunyai jiwa bila dinikmati atau dipahami oleh pembaca.
2.
Dalam menelaah, unsur yang menjadi objek telaah mencakup seluruh unsur, baik
fisik maupun unsur batin dan unsur-unsur lain yang dapat dijadikan acuan untuk
mengkongkretkan makna yang abstrak.
3.
Dasar pertimbangan dalam penentuan makna adalah perpaduan unsur intrinsik
dengan unsur ekstrinsik serta faktor genetik dan pengalaman yang dipunyai
pembaca.
4.
Esensi karya sastra adalah makna setiap unsur, hubungan antara unsur dan
keterpaduannya dihubungkan dengan konteks kesemestaan dan sistem kognisi
pembaca.
F. Teks dan Analisis Teks
Teks Cerpen
Patung Perempuan
September 30,
2015 Sena Harjito Sastra
Cerpen: Harjito
Aku
melewati jalan Hantu sepulang dari rumah Bejo. Seperti
biasanya aku memperhatikan rumah yang semak belukarnya tidak
teratur itu yang sering disebut penduduk
kampung sebagai rumah hantu.
Langit
sedikit bergemuruh. Tampaknya hujan mau membasah. Tak ada bunyi lonceng
yang mendirikan bulu roma. Di kampung kami tak ada lolongan serigala.
Hanya kelepak sayap kelelawar mencari makan.
Ingatanku
melayang ke tahun-tahun lampau.
Waktu
aku masih sangat kecil rumah hantu belum berdiri. Tempat itu masih
lapangan rumput. Aku bersama teman-teman senang main layang-layang.
Kakak-kakakku lebih suka bermain bola
volley. Main volley aku tak bisa. Tanganku belum kuat. Terlalu lemah.
Sering-sering
sehabis memukul satu-dua kali aku mengaduh.
Tanganku serasa terbakar dan panas. Meski begitu,
aku tak jera. Kakak acap jengkel sebab pukulanku
lebih sering melenceng dari arah yang
direncanakan.
Kami
pun bermain sepak bola. Bal-balan. Tanpa sepatu. Pakai bola plastik.
Bukan bola yang digunakan Pele. Bola plastik. Murah dan ringan bagi
kaki.
Sehabis
lelah bermain kami tiduran di tanah sembari menggigit batang-batang rumput.
Bila bosan kami mencari kupu-kupu atau kepik emas, binatang kecil
yang warnanya memikat.
Kami
paling bangga membawa ketapel. Layaknya Tarzan yang jagoan,
kami mengetapel burung gereja. Sialan. Tak pernah
kena. Malah karetnya sering membalik. Menyerempet kena kening
kepala.
Kami
juga memanjat pohon asam dan menguliti buahnya. Kalau mujur
kami memperoleh sarang burung beserta piyik, anak burung.
Anehnya, selalu gagal tumbuh besar. Terlanjur mati
dahulu.
Di depan pintu rumah
itu — mungkin agak ke belakang sedikit — ada sebuah gua. Gua karang
yang lumutan. Batunya memang bukan batu biasa, tetapi batu karang. Hitam dan
panjang. Bukan. Bukan gua yang menjurus ke sungai, tempat di
mana teman-teman suka berenang. Bukan. Kami berkali-kali
memasukinya. Kami hapal betul segenap lekuk-liku
dan coret-moret di dinding karang. Tak ada
tanda-tanda menembus inti bumi. Apalagi menuju ke sungai yang
mengalir di sebelah sana.
Menurut
cerita orang-orang tua, daerah ini bekas
pantai. Bekas laut. Lantaran laut makin surut, garis pantai
meninggalkannya bengong sendiri. Kemudian muncullah Gua Karang.
Ada
satu lagi: di pintu belakang gua, agak ke
sebelah kanan terdapat patung perempuan berkain sebatas
dada. Kami menyebut patung perempuan itu sebagai patung ibu. Gerak tangan
ibu seolah tengah menggandeng anak kecil, tetapi si anak kecil
pergi entah ke mana.
Kata
orang-orang tua lagi: anak kecil putra ibu hilang terbawa gelombang laut.
Ibu tak sempat menyelamatkan. Ada siratan kesedihan
yang terpancar dari wajah ibu. Sebuah kesedihan
yang mampu menghilangkan gurat-gurat kecantikan.
Aku
sering digandeng ibu.
Tiap
kugandeng tangannya, selalu kurasakan sebuah kedamaian menjamah relung hati.
Seperti es batu mendinginkan kerongkongan yang kering kerontang. Sambil
jalan-jalan aku omong-omong dengannya.
“Di
mana anakmu?” aku ingin tahu.
Ia
hanya memandangku.
“Ia
sebesar aku?” desakku lagi.
Ia
jongkok. Mensejajarkan dirinya dan memandang mataku
lekat-lekat.
“Apakah
ia mirip aku?”
Pertanyaanku
tak dijawabnya.
Ia
menjunjung tubuhku. Lantas, kami berjalan bergandengan menyusuri
kembali bekas telapak kaki yang tertinggal di pantai. Sesekali
ombak kecil menerpa dan membasahi kaki.
Angin
berhembus. Pori-pori kulitku meremang. Benarkah
rumah hantu sedemikian angkernya sebagaimana cerita orang?
Mengapa
harus takut? Di antara teman-teman bemain, akulah yang paling
berani soal hantu. Aku berani sendirian
jalan melewati kuburan di malam hari. Bejo terkencing-kencing gara-gara
kutinggal beberapa langkah.
Agak
dag dig dug aku melangkah memasuki halaman.
Menurut
penuturan beberapa orang, tempat ini menyeramkan dan
berbahaya. Sudah hampir empat tahun terlantar. Ditinggalkan
si pemilik yang tidak kuat menghadapi banyak
godaan. Dilempari batu, diteror suara-suara aneh, atau
sakit-sakitan. Pokoknya ada saja kemalangan yang
menimpa.
Baru
saja aku hendak membuka pintu, terdengar
suara gemuruh. Luar biasa ribut bagai seribu gajah menghentaki bumi. Tanah
berdebum-debum. Mungkinkah terjadi gempa atau di luar turun hujan
deras. Sekonyong-konyong air datang bergulung-gulung. Menggulung tubuhku. Aku
terseret.
Aku
tergagap. Apakah tanah ini tiba-tiba menjelma kembali
menjadi pantai? Kurasakan badan yang basah dan menggigil. Aku
berteriak-teriak minta tolong. Minta tolong sampai tenggorokanku
parau. Kakiku meronta-ronta.
Yang
paling aku takuti adalah air. Air. Aku tidak bisa berenang. Aku terseret
gelombang air. Malam tambah pekat. Langit tambah gelap.
Siapa bakal peduli lolonganku. Dalam keremangan, sebuah tangan
terulur. Sebuah tangan yang lembut dan lentik.
Sepertinya aku sangat mengenal tangan itu. Ataukah tangan peri yang
sering diceritakan Bejo?
Beberapa
tegukan air membuatku megap-megap. Aku timbul tenggelam dalam pusaran
air. Kakiku begitu kaku. Sebentar lagi aku akan mati. Aku
masih berharap bahwa ini hanya mimpi buruk ketika
sebuah kayu besar menghantam lenganku.
*****
Banjir
bandang datang. Demikian berita posko mengabarkan. Satu orang
selamat dari amukan air bah. Ia ditemukan bersama patung perempuan di
tempat ketinggian. Tersangkut pada sebatang pohon besar yang
tumbang.
Orang
yang selamat itu adalah aku.
Analisis Teks
No
|
Nama
|
Profesi
|
Tanggapan Terhadap Teks
|
Kelebihan
|
Kelemahan
|
Pesan dan nilai
|
1
|
Zahratul
Wahdati
|
Mahasiswa PBSI
|
· Menggunakan
simbol
· Diksi menarik
|
· Cerita sulit
dipahami
|
· Jangan mudah
menyerah
· Nilai budaya (mistis)
|
2
|
Ajeng
Ayuningtyas
|
Mahasiswa BK
|
· Akhir cerita
susah ditebak
· Bahasa mudah
dipahami
|
· Akhir cerita
membingungkan
|
· Jadilah
pemberani
· Nilai sosial
|
3
|
Siti Hamidah
|
Karyawati
|
· Bahasa mudah
dipahami
|
· Cerita sulit
dipahami
|
· Memiliki rasa
keingintahuan yang tinggi
· Nilai ekonomi
|
4
|
Dwi Rachmadani
|
Mahasiswa PBSI
|
· Akhir cerita
mengesankan
|
· Cerita
membingungkan
· Alur cerita
aneh
|
· Tidak
melupakan kenangan
· Nilai budaya (mistis)
|
5
|
Desi Wismasari
|
Asdos BK
|
· Bahasa yang
digunakan mudah dipahami
|
· Kata-kata
sedikit kasar
|
· Memiliki rasa
penasaran yang tinggi
· Nilai budaya (mistis)
|
6
|
Resa
|
Mahasiswa
Matematika
|
· Kata-kata
mudah dipahami
|
· Jalan cerita
membingungkan
· Boros kata
|
· Jangan takut
terhadap hal-hal mistis
|
7
|
Ginanjar
|
Mahasiswa TI
|
· Jalan cerita
susah ditebak
|
· Cerita kurang
logis
|
· Hilangkan rasa
takut
· Nilai sosial
|
8
|
Novalia
Amartha
|
Mahasiswa PBSI
|
· Banyak
menggunakan majas dan kiasan
|
· Bahasa sulit
dipahami
|
· Milikilah jiwa
pemberani
|
9
|
Siti Umairoh
|
Mahasiswa PBSI
|
· Cerita menarik
dan tidak mudah ditebak
|
· Bahasa yang
digunakan sulit dimengerti
|
· Jadilah
berani, tetapi jangan membahaya-kan diri sendiri
|
10
|
Feby Dwi
Lestari
|
Mahasiswa PBSI
|
· Cerita mudah
dipahami dan menarik untuk dibaca
|
· Terdapat kata
yang kurang baku
|
· Jadilah
pemberani
|
Bukti tanggapan:
1.
Zahratul
Wahdati
· Menggunakan
simbol: patung perempuan disimbolkan sebagai seorang ibu.
· Diksi
menarik: Tampaknya hujan mau membasah; Sebuah kesedihan yang mampu menghilangkan
gurat-gurat kecantikan; Tanah berdebum-debum; Minta tolong sampai
tenggorokanku parau. Kakiku meronta-ronta.
· Tisak
mudah menyerah: Tanganku serasa terbakar dan panas.
Meski begitu, aku tak jera.
· Nilai
budaya (mistis): Angin berhembus. Pori-pori
kulitku meremang. Benarkah rumah hantu sedemikian angkernya
sebagaimana cerita orang?
2.
Ajeng
Ayuningtyas
· Bersifat
pemberani: Mengapa harus takut? Di antara teman-teman bemain,
akulah yang paling berani soal hantu.
· Nilai
sosial: Aku bersama teman-teman senang main layang-layang.
3.
Siti
Hamidah
· Memiliki rasa
ingin tahu yang tinggi:
“Di mana anakmu?” aku ingin tahu.
Ia
hanya memandangku.
“Ia
sebesar aku?” desakku lagi.
Ia
jongkok. Mensejajarkan dirinya dan memandang mataku
lekat-lekat.
“Apakah
ia mirip aku?”
Pertanyaanku
tak dijawabnya
· Nilai ekonomis:
Bola plastik. Murah dan ringan bagi kaki.
4.
Dwi
Rachmadani
· Tidak melupakan
kenangan atau masa lalu: Ingatanku melayang ke tahun-tahun lampau.
· Nilai budaya (mistis):
Aku melewati jalan Hantu sepulang dari rumah Bejo.
5.
Desi
Wismasari
· Memiliki rasa
ingin tahu yang tinggi: Benarkah rumah hantu sedemikian angkernya sebagaimana
cerita orang?
· Nilai budaya
(mistis): Menurut penuturan beberapa orang, tempat ini
menyeramkan dan berbahaya.
· Menggunakan
kata-kata yang sedikit kasar: Sialan.
Tak pernah kena.
6.
Resa
· Boros
kata: Sering-sering sehabis
memukul satu-dua kali aku mengaduh.
· Jangan
takut terhadap hal mistis: Mengapa harus takut? Di antara teman-teman
bemain, akulah yang paling berani soal
hantu.
7.
Ginanjar
· Cerita kurang
logis: Apakah tanah ini tiba-tiba menjelma kembali
menjadi pantai? Kurasakan badan yang basah dan menggigil; Ataukah tangan
peri yang sering diceritakan Bejo?
· Nilai sosial:
Sambil jalan-jalan aku omong-omong dengannya.
8.
Novalia Amartha
· Menggunakan
majas dan kiasan: Kakiku meronta-ronta
9.
Siti Umairoh
· Bahasa sulit
dimengerti: Aku melewati jalan
Hantu sepulang dari rumah Bejo.
10.
Feby Dwi Lestari
· Kata
kurang baku: lolongan; melenceng.
DAFTAR PUSTAKA
Putra. 2013. Pendekatan
Pragmatik dalam Kajian Puisi. (online). (http://putra- p3tir.blogspot.com/2013/12/pendekatan-pragmatik-dalam-kajian-
puisi.html, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).
Sigondang. 2011.
Jenis-Jenis Kritik Sastra. (online).
(http://www.sigodangpos.com/2011/09/jenis-jenis-kritik-sastra-dan.html, dikunjungi
Selasa, 8 Desember 2015).
Yusfin. 2011. Pemahaman
Kritik Pragmatik dalam Novel. (online).
(http://yusfimembaca.blogspot.com/2011/11/pemahaman-kritik-
pragmatik-dalam-novel.html, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).
Yasni, Asri. 2012.
Penerapan Pendekatan Pragmatik dalam Sastra. (online).
(http://asriyasnur.blogspot.com/2012/01/penerapan-pendekatan-pragmatik-
dalam.html?m=1, dikunjungi Selasa, 8 Desember 2015).