Desir
Ombak
Oleh: Dhani Susilowati
Aku
memandang senja ketika matahari kan kembali. Ku mainkan nada sendiri, dengan
biola yang lama ku pelajari. Suaranya membuat bulu kuduku berdiri. Lalu kutatap
ombak yang sepi. Lagi-lagi mataku tak bisa berkompromi. Ya, aku menangis lagi
mengingat semua ini.
“Nik,
apa kamu yakin akan memulai semua ini denganku?” tanyaku meragukannya.
“Ya,
aku yakin. Aku percaya kamu lebih dari Ayahku, aku mencintaimu lebih dari
sahabatku Na,” dia meyakinkanku.
Aku
percaya waktu itu. Harapan demi harapan mulai ku bangun. Ya aku tak bisa
menyembunyikan perasaanku, aku benar mencintainya.
Ku
hitung sudah seratus hari. Lukaku belum kering hingga hari ini. Tapi aku sudah lelah mencari.
Bahkan mereka telah memutuskan mati. Meski tanpa karangan bunga, walau jasadnya
tak ditemui. Miris, aku tak kuasa menangis lagi.
Dia
masih kekasihku sampai hari ini. Seratus hari sejak ia berjanji. Kita tak
seperti kasih lain yang harus bersama setiap hari. Bahkan sesekali kita tak
mampu saling berpegang jemari. Aku sungguh merindukanmu dalam ramai ataupun
sepi. Tapi jangan khawatir sayang, aku masih menyimpamu lekat di hati.
Aku
tak bisa menentang kenangan untuk ku ingat lagi. Dadaku masih saja sesak ketika
menyeka butir air mata.
“ Kamu, tak bisakah kembali?”
Rintihku,
meski selalu ku coba pahami, itu takan terjadi.
“Aku
tak lelah menanti, aku tak mencoba mencari pengganti, Sayang apa kamu belum
juga mengerti?”
Tangisku
semakin menjadi, kembali seperti gadis lugu yang kehilangan boneka barbie.
Aku
tak ingin pulang. Masih sangup aku menunggu hingga malam. Tapi dering ponselku
sungguh menggugurkan sebuah penantian.
“Nak,
apa kau masih di Dreamland? ini sudah
malam,” terdengar panik suara di seberang.
“Iya
Yah,” sahutku datar.
“Ayah
akan segera menyusulmu, tetaplah di situ, menjauhlah dari ombak Nak!”
Kupastikan
ayah tergesa tak kepalang. Ibu berdoa terus-terusan. Rasa panik mereka beradu
tak karuan. Mereka pasti takut jika kejadian tiga bulan silam terulang. Tapi
aku sadar, aku tak kan lagi berusaha menyusul kasihku yang tenggelam. Aku masih
sanggup menanti cinta hingga kelak dipertemukan Tuhan.
Masih
kuingat dengan jelas, ibumu meraung di antara bacaan tahlil
dari kebanyakan orang. Kakak perempuanmu mencoba menenangkan ibu. Ayahmu
sesekali membuka kacamata untuk menyeka tangisnya. Mereka tak bisa melihatmu
untuk terakhir kalinya. Waktu itu, bahkan aku diam saja. Air mataku telah habis
menyatu dengan debur ombak, beberapa jam yang lalu sebelum mereka tahu.
Aku
ingat, persis. Bagaimana senyummu waktu itu. Lesung tetap di pipimu. Namun
bibirmu agak ungu kebiru-biru. Aku ingat, persis. Kita kenakan baju warna biru,
yang akhirnya menyatu dengan laut yang juga biru. Aku ingat, persis. Bagaimana senangnya ketika
jemari kita saling bertemu. Untuk pertama sekaligus terakhir aku menggandengmu.
Lagi-lagi air mataku terus keluar, tak kuat lagi bersembunyi.
Aku
tidak lupa, bagaimana kasihku perlahan menjauh. Aku tidak lupa, bagaimana
usahanya melawan. Desir ombak yang melepaskan kuatnya jemari yang saling berpegang.
Desir ombak yang membuat kasihku menghilang tak ditemukan. Desir ombak yang
membuatku menunggu lebih lama untuk kepastian yang tidak pernah ada.
Suara
sayup terdengar. Ayah mengajakku pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar