Kamis, 05 November 2015

Cerpen Teenlit, Desir Ombak


Desir Ombak
Oleh: Dhani Susilowati

Aku memandang senja ketika matahari kan kembali. Ku mainkan nada sendiri, dengan biola yang lama ku pelajari. Suaranya membuat bulu kuduku berdiri. Lalu kutatap ombak yang sepi. Lagi-lagi mataku tak bisa berkompromi. Ya, aku menangis lagi mengingat semua ini.
“Nik, apa kamu yakin akan memulai semua ini denganku?” tanyaku meragukannya.
“Ya, aku yakin. Aku percaya kamu lebih dari Ayahku, aku mencintaimu lebih dari sahabatku Na,” dia meyakinkanku.
Aku percaya waktu itu. Harapan demi harapan mulai ku bangun. Ya aku tak bisa menyembunyikan perasaanku, aku benar mencintainya.
Ku hitung sudah seratus hari. Lukaku belum kering hingga  hari ini. Tapi aku sudah lelah mencari. Bahkan mereka telah memutuskan mati. Meski tanpa karangan bunga, walau jasadnya tak ditemui. Miris, aku tak kuasa menangis lagi.
Dia masih kekasihku sampai hari ini. Seratus hari sejak ia berjanji. Kita tak seperti kasih lain yang harus bersama setiap hari. Bahkan sesekali kita tak mampu saling berpegang jemari. Aku sungguh merindukanmu dalam ramai ataupun sepi. Tapi jangan khawatir sayang, aku masih menyimpamu lekat di hati.
Aku tak bisa menentang kenangan untuk ku ingat lagi. Dadaku masih saja sesak ketika menyeka butir air mata.
“ Kamu, tak bisakah kembali?”                   
Rintihku, meski selalu ku coba pahami, itu takan terjadi.
“Aku tak lelah menanti, aku tak mencoba mencari pengganti, Sayang apa kamu belum juga mengerti?”
Tangisku semakin menjadi, kembali seperti gadis lugu yang kehilangan boneka barbie.
Aku tak ingin pulang. Masih sangup aku menunggu hingga malam. Tapi dering ponselku sungguh menggugurkan sebuah penantian.
“Nak, apa kau masih di Dreamland?  ini sudah malam,” terdengar panik suara di seberang.
“Iya Yah,” sahutku datar.
“Ayah akan segera menyusulmu, tetaplah di situ, menjauhlah dari ombak Nak!”
Kupastikan ayah tergesa tak kepalang. Ibu berdoa terus-terusan. Rasa panik mereka beradu tak karuan. Mereka pasti takut jika kejadian tiga bulan silam terulang. Tapi aku sadar, aku tak kan lagi berusaha menyusul kasihku yang tenggelam. Aku masih sanggup menanti cinta hingga kelak dipertemukan Tuhan.
Masih kuingat dengan jelas, ibumu meraung di antara  bacaan tahlil dari kebanyakan orang. Kakak perempuanmu mencoba menenangkan ibu. Ayahmu sesekali membuka kacamata untuk menyeka tangisnya. Mereka tak bisa melihatmu untuk terakhir kalinya. Waktu itu, bahkan aku diam saja. Air mataku telah habis menyatu dengan debur ombak, beberapa jam yang lalu sebelum mereka tahu.
Aku ingat, persis. Bagaimana senyummu waktu itu. Lesung tetap di pipimu. Namun bibirmu agak ungu kebiru-biru. Aku ingat, persis. Kita kenakan baju warna biru, yang akhirnya menyatu dengan laut yang juga biru.  Aku ingat, persis. Bagaimana senangnya ketika jemari kita saling bertemu. Untuk pertama sekaligus terakhir aku menggandengmu. Lagi-lagi air mataku terus keluar, tak kuat lagi bersembunyi.
Aku tidak lupa, bagaimana kasihku perlahan menjauh. Aku tidak lupa, bagaimana usahanya melawan. Desir ombak yang melepaskan kuatnya jemari yang saling berpegang. Desir ombak yang membuat kasihku menghilang tak ditemukan. Desir ombak yang membuatku menunggu lebih lama untuk kepastian yang tidak pernah ada.
Suara sayup terdengar. Ayah mengajakku pulang.
           

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar