Atas Nama Pahlawan Devisa
Oleh:
Dhani Susilowati
![]() |
Novel Jatisaba |
Judul : Jatisaba
Penulis :
Ramayda Akmal
Penerbit : ICE
Cetakan
: Pertama, Februari 2011
Tebal : iv
+ 340 halaman
ISBN
:
9789791852685
Fenomena permasalahan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) dan sindikat perdagangan manusia seolah telah bersahabat dengan
telinga. Reporter berita di acara televisi sibuk berkoar perihal nasib pahlawan
devisa. TKI tidak lagi mendapat pekerjaan aman dengan gaji yang besar, tetapi
kian hari pekerjaannya menjadi momok yang memicu tindak kekerasan, bahkan tak
jarang berujung kematian.
Oleh Ramayda Akmal, problematika semacam ini, dimanfaatkan
sebagai ladang mengeruk imajinasi berbarengan dengan penyampaian faktual
berdasar riset. Ramayda dalam novel ini memaparkan potret realita sosial di
balik kedok pahlawan devisa. Di tangan penulis kelahiran Cilacap, permasalahan
rumit yang bersarang di masyarakat
dikuliti secara tuntas dengan pemikiran yang cerdas.
Dengan
segala miniatur persoalan sosial, penulis mengisahkan tokoh yang dielukan
sebagai pahlawan devisa begitu dekat dengan ajalnya setiap kali mereka hendak
melawan ketidakadilan. Ketidakberdayaan mereka atas hukum berawal dari proses
legalisasi TKI yang tidak terpenuhi.
Bahkan
mereka rela membiarkan batinnya diperbudak uang karena mereka berangkat dari
kemiskinan. Tangan-tangan mereka yang tak berdosa dipaksa mengedarkan narkoba.
Tubuh anggun wanita yang mestinya tertutup di keramaian dibiarkannya terbuka.
Lalu, atas permintaan siapa para TKI berlaku tak semestinya jika bukan karena
menyelamatkan hembusan napas dari hidungnya dan detak di jantungnya? Tak
jarang, mereka pulang ke tanah kelahiran hanya sebatas nama.
Pantas saja novel Jatisaba menjadi
novel unggulan pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di tahun
2010. Pasalnya cerita yang diangkat oleh penulis benar-benar mencerminkan
realita kehidupan yang nyata di tengah paradigma sosial masyarakat Indonesia.
Tokoh yang diciptakan oleh Ramayda Akmal dalam novel Jatisaba seolah-olah
membuka topeng kehidupan TKI yang mengatasnamakan pahlawan devisa di medan
pertempurannya.
Kamu
akan menemukan tokoh Mae yang dikisahkan sebagai penyalur TKI secara ilegal.
Kamu pun pasti tersihir dengan lika-liku penjalanan hidupnya. Tindakan lihai
seorang calo TKI memanfaatkan kenangan di kampung halamannya untuk mengeruk
tumbal yang akan bertukar menjadi sumber penghidupannya. Meskipun setiap ia
berkata semua hanyalah kebalikan dari kenyataan pahit yang dialaminya di negeri
antah-berantah.
Lalu,
kupastikan kau akan geleng-geleng kepala sembari menyumpahi sistem demokrasi di
Indonesia. Hal itu disebabkan oleh penggambaran praktik money politic di Desa Jatisaba yang sengaja dipadukan dengan
permasalahan ketenagakerjaan. Gencarnya kampanye pemilihan kepala desa pun
berperan besar dalam upaya penyelasaian misi Mae di Jatisaba.
Suasana
yang demikian, dimanfaatkan oleh tokoh Mae untuk menjerumuskan orang-orang
terdekatnya di Jatisaba dengan modal kenangan. Tentu saja, meskipun ada
keraguan dan kekhawatiran menjadi TKI, akan tetapi iming-iming memperoleh
penghidupan yang layak untuk masyarakat desa yang dilanda kemiskinan menjadikan
calon tumbal-tumbal Mae tertarik untuk mengikuti tawarannya.
Konflik
sosial khas masyarakat desa yang dihadirkan penulis dalam novel ini menjadi
semakin menarik dengan imbuhan bahasa Jawa khas masyarakat Cilacap yang
disisipkan dalam narasi maupun dialog antartokoh. Seperti kutipan berikut,
“Mereka orang kita, Mae! Malim mencegah langkahku yang mulai terbirit-birit.
Ternyata benar. Mereka dere dan jago-jagoku.” (Akmal, 2011:4). Gaya
bercerita penulis benar-benar kuat dengan menghadirkan kata-kata yang berhasil
memicu imajinasi pembaca.
Novel ini tidak melulu membahas
permasalahan TKI yang kian hari kian pelik dalam balutan persengketaan politik
lokal. Diselingi dengan romansa, penulis berusaha menambah permasalahan lain
yang tidak kalah menguras air mata. Sambil menikmati perjalanan hidupnya yang
terus di ambang keputusasaan, Mae menemukan sesosok mata elang yang
membangkitkan niatnya untuk mengais kenangan. Gao, sumber cinta dari masa lalu
menyelinap melalui batas-batas kenangan yang telah dibangun sekian tahun
lamanya sejak ia meninggalkan Jatisaba. Namun, kisah cintanya juga tak luput
dari derita.
Terlepas
dari penuturan Ramayda perihal kisah klasik pahlawan devisa tingkat desa, dalam
novel ini terdapat satu halaman tanpa tinta. Kesalahan teknis pada halaman yang
seharusnya tertulis angka 34 cukup meresahkan pembaca karena menyebabkan
terputusnya ikatan pembaca dengan alur cerita, meskipun hanya sesaat.
Namun
demikian, pendapat para ahli sastra yang dibubuhkan dalam sampul novel menjadi
daya tarik tersendiri bagi setiap pembaca untuk menjamah rangkaian cerita hingga
tuntas. Seperti pernyataan Ahmad Tohari dalam sampul depan, “sebuah potret
realita sosial yang dibuat dengan lensa tajam dan cerdas. Karya penulis muda
berbakat ini mengungkap sisi lacur yang samar di tengah perubahan sosial kita.
Mengesankan!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar